Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
MESKI merupakan hal yang ditetapkan sejak berdirinya negara, ideologi tetaplah bukan nilai yang diterima begitu saja. Ideologi harus dipahami sebagai identitas yang diwariskan.
Sebab itu walaupun melekat, tidak berarti ia mutlak dicintai. Ideologi yang tidak didekatkan ke kehidupan nyata akan semata hafalan di bibir. Bahkan tidak mungkin, ia jadi sesuatu yang aneh dan kemudian ditinggalkan.
Begitulah fenomena yang terjadi pada banyak negara, baik negara dengan ideologi beragam seperti Amerika Serikat maupun negara dengan ideologi tunggal, seperti Indonesia. Tantangan terhadap ideologi Pancasila kita memang tidak lagi dengan pemberontakan macam 1965, melainkan lewat berbagai cara di era keterbukaan ini.
Konsekuensi yang kita hadapi juga bukan sepele, seperti gagalnya para milenial hingga generasi Z menyebutkan lima sila yang menjadi dasar falsafah negara itu. Namun, ancaman besarnya adalah gesekan sosial yang makin meruncing hingga kontaminasi ideologi-ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Buktinya, sudah ada di penelitian sejumlah lembaga beberapa tahun ini. Bahkan, goyahnya ideologi Pancasila terjadi di diri para pendidik.
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin Prof Dr Bambang Pranowo--yang juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Selain 25% siswa, ada 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Kemudian pada 2017, data yang diperoleh dari Badan Intelijen Negara (BIN) menunjukkan 39% mahasiswa Indonesia dari beberapa perguruan tinggi terpapar radikalisme.
Data-data itu bukti berjaraknya Pancasila dari warganya, bukan saja generasi muda, melainkan generasi yang menjadi motor sekarang ini. Maka pekerjaan besar saat ini ialah bagaimana membumikan lagi Pancasila. Sebab hanya dengan cara itulah, ia menjadi identitas yang dicintai dan dibela.
Pekerjaan besar ini pula yang disadari Presiden Joko Widodo yang menekankan perluasan dan pendalaman lagi nilai-nilai Pancasila. Hal itu Presiden sampaikan dalam pidatonya dalam Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila, kemarin, di Istana Bogor.
Presiden pun menyoroti revolusi industri 4.0 yang menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, keterbukaannya juga menjadi pintu bagi masuknya ideologi-ideologi asing. Namun, di sisi lain, semestinya era teknologi ini juga menjadi alat kita untuk membumikan Pancasila.
Sayangnya, bangsa ini memang masih lebih menjadi budak teknologi. Lihat saja laporan HootSuite dan agensi marketing, We Are Social bertajuk Digital 2021: Global Overview Reports, yang memasukkan Indonesia ke peringkat 10 besar negara yang kecanduan media sosial. Laporan itu hasil analisis 47 negara, termasuk negara-negara tetangga seperti Singapura dan Filipina.
Anggota divisi keamanan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) sekaligus peneliti terorisme, Boas Simanjuntak, telah menyebutkan konten radikalisme bertebaran di berbagai platform medsos. Ia juga menyebut, mudahnya ideologi tersebut menjangkiti anak muda karena memenuhi hasrat pencarian jati diri.
Ibarat orang yang kehausan, banyak generasi muda kita yang justru disuguhi pemuas dahaga oleh kelompok radikal, intoleran, dan sejenisnya. Lubang besar inilah yang butuh kerja serius.
Tentunya, kita mengharapkan pemerintah dengan berbagai program-programnya bisa membanjiri medsos dengan nilai-nilai Pancasila. Meski begitu, pemahaman kehidupan Pancasila tentunya hanya bisa melekat jika juga ditunjukkan seluruh elemen bangsa, termasuk tokoh ulama, figur publik, pendidik, hingga keluarga terdekat.
Tidak berhenti di situ, wujud Pancasila harus ada hingga ke kehidupan bernegara tertinggi, yang artinya menyangkut setiap perundangan dan kebijakan yang ada. Pancasila pada ketatanegaraan sama pentingnya dengan Pancasila di kehidupan keseharian, karena di situlah senyatanya komitmen negara.
Ketika negara meminta rakyat setia pada Pancasila, sepantasnya pula negara harus setia pada kemanusiaan, persatuan, hingga keadilan sosial.
SINDIRAN bahwa negeri ini penyayang koruptor kian menemukan pembenaran. Pekik perang terhadap korupsi yang cuma basa-basi amat sulit diingkari.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved