TEROR bom yang mengguncang Gereja Katedral di Makassar, Minggu (28/3), belum juga lenyap dari benak publik. Kemarin, serangan yang diduga dilakukan teroris kembali terjadi. Kali ini tidak tanggung-tanggung, di luar dugaan kita, sasarannya ialah Markas Besar Polri di Jakarta.
Belum bisa dipastikan apakah kedua peristiwa teror itu berkaitan atau tidak. Pola serangannya pun berbeda. Teror di Makassar seperti halnya beberapa teror sebelumnya di Surabaya (2018) dan Medan (2019), pelaku menggunakan metode pengeboman. Adapun penyerang Mabes Polri tidak menggunakan bom, tetapi pistol. Ikhwal keterkaitan itu tentunya perlu ditelusuri lebih dalam.
Namun, ada fakta menarik yang barangkali penting juga sebagai bahan penyelidikan polisi. Pertama, para terduga teroris itu berusia muda, bahkan masuk golongan milenial. Pelaku pengeboman gereja di Makassar dan pelaku penyerangan Mabes Polri sama-sama lahir pada 1995 atau baru berusia 26 tahun.
Sesungguhnya fenomena teroris muda bukan hal yang betul-betul baru. Sejak beberapa tahun terakhir, anak-anak muda memang menjadi target khas dari kelompok teroris. Anak muda, terutama yang spiritualnya kosong, tidak punya basis keagamaan kuat, dianggap sebagai sasaran empuk karena sangat mudah dipengaruhi dan dibujuk rayu tentang jalan pintas menuju surga.
Negara semestinya tak boleh menganggap sepele fakta ini. Anak-anak muda sesungguhnya ialah aset bangsa, tidak seharusnya dibiarkan memilih jalan yang melenceng. Pemerintah mesti bekerja ekstrakeras untuk melindungi aset bangsa itu, utamanya segera menemukan formula efektif demi membendung paham radikal melalui konten-konten di internet dan media sosial.
Ekstra effort mesti dilakukan karena musuhnya tidak bisa dianggap enteng. Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang merupakan jaringan teroris tempat pasutri pengebom Gereja Katedral Makassar bernaung, misalnya, dikenal hebat di dunia media sosial. Polisi bahkan mengakui jaringan itu lebih terstruktur di dunia maya daripada di lapangan.
Tidak bisa tidak, strategi pemerintah dalam kontra wacana ideologi kelompok-kelompok teroris harus lebih intensif dan efektif. Jangan pula kita kalah gesit di dunia maya, kecolongan pula di lapangan.
Fakta menarik kedua dari kejadian penyerangan di Mabes Polri ialah bahwa teroris saat ini semakin 'berani'. Mereka tak lagi hanya mengincar tempat ibadah atau orang asing dan simbol asing. Markas polisi dan aparat polisi pun jika kita perhatikan sejak 10 tahun terakhir kerap menjadi sasaran.
Publik tentu tak ingin melihat sebegitu mudahnya markas besar kepolisian diterobos terduga teroris. Secara psikologis akan muncul kekhawatiran, kalau polisi saja dengan gampang bisa diserang, apalagi rakyat biasa? Kalau markas polisi saja mudah ditembus, mungkin bukan perkara sulit pula menerobos objek-objek vital negara yang lain.
Polisi harus cepat bertindak. Pertama, jalankan prosedur pengamanan untuk markas dan personel dengan benar. Tidak boleh lagi ada kecolongan atau keteledoran. Bila perlu lipat gandakan pengamanan untuk objek-objek vital milik negara dari ancaman teroris.
Kedua, polisi dituntut lebih cepat dan bernas dalam menguak sekaligus menindak tegas jejaring yang terkait dengan pelaku teror. Sistem deteksi mau tidak mau mesti diperkuat. Teroris bukanlah virus yang karena saking mikronya menjadi sulit dideteksi.
Semua langkah itu sesungguhnya bermuara pada satu hal, bahwa pengelola negeri ini tidak boleh sekali pun mengendurkan kewaspadaan terhadap ancaman terorisme.