Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Cerdas Menyikapi Hasil Pilpres AS

04/11/2020 05:00
Cerdas Menyikapi Hasil Pilpres AS
Editorial(Dok.MI/Seno)

HARI ini, dunia akan mengetahui siapa Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS). Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia, hasil pemilu AS memang selalu menjadi perhatian.

Terlebih, kebijakan-kebijakan yang dijalankan Donald Trump sejak dilantik menjadi Presiden AS pada 20 Januari 2017 sangat berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Dengan kebijakan yang keras soal imigrasi dan kebijakan proteksi ekonomi, Trump kerap dinilai rasialis dan tidak mendukung kerja sama global.

Di dalam negeri, Trump juga membangkitkan gerakan supremasi kulit putih hingga gesekan antarkelas dan antarras di 'Negeri Paman Sam' meningkat di mana-mana.

Maka banyak orang menaruh harapan perubahan dan perdamaian kepada sang penantang, Joe Biden. Wakil presiden di era pemerintahan Barack Obama ini maju dengan menggandeng calon wakil presiden seorang senator perempuan yang memiliki darah India-Jamaika, Kamala Harris. Dengan profil keberagaman ras, ditambah janji pelunakan imigrasi serta potongan pajak bagi kelas pekerja, Biden tampaknya cukup berhasil memikat rakyat.

Meski begitu, sejarah Pemilu AS 2016 bisa saja berulang. Kala itu, Hillary Clinton yang awalnya unggul di popular vote tetap gagal menjadi presiden karena kalah di electoral college.

Bagaimanapun, hasil Pemilu AS nantinya memang harus dihormati. Siapa pun yang akhirnya menjadi Presiden AS, pada akhirnya negara-negara lain harus memiliki strategi diplomasi demi memperjuangkan kepentingan nasional mereka.

Hal itu pula yang tentunya harus dijalankan Indonesia. Sejauh ini, meski Trump melakukan proteksi ekonomi, khususnya dengan Tiongkok, dan mengeluarkan sejumlah negara dari daftar negara berkembang, nyatanya kerja sama bisnis tetap bisa diraih Indonesia.

Pada Februari lalu, Indonesia termasuk di antara negara yang diubah statusnya dari negara berkembang menjadi negara maju. Kepada negara-negara maju, AS tidak lagi memberikan potongan bea masuk barang ekspor atau Generalized System of Preference (GSP).

Namun, pada 2 November ini, pemerintah AS nyatanya tetap memperpanjang GSP kepada Indonesia. Kebijakan yang sangat penting bagi daya saing produk Indonesia di pasar AS ini adalah bukti kekuatan diplomasi kita.

Kekuatan seperti itu pula yang harus terus dipertahankan, siapa pun pemimpin AS nantinya. Terlebih, AS memang salah satu pasar penting bagi RI. Total perdagangan Indonesia-AS untuk Januari-Mei 2020 tercatat US$10,75 miliar atau Rp158,2 triliun, dengan surplus bagi Indonesia sebesar US$3,7 miliar atau Rp54 triliun.

Di sisi lain, di tingkat multilateral, Indonesia juga harus tetap teguh pada perdamaian dan kepentingan besar dunia. Dalam soal lingkungan, misalnya, bagaimanapun hasil final posisi AS di Persetujuan Paris (Paris Agreement) tidak boleh menyurutkan langkah kita dalam menurunkan emisi maupun dalam terus mendorong negara-negara emitter besar dunia untuk menunaikan kewajiban mereka.

Jika soal kebijakan ekonomi luar negeri Trump dan Biden dinilai tidak akan berbeda jauh, sesungguhnya dalam soal imigrasi dan lingkunganlah perbedaan besar bisa terjadi. Di bawah pemerintahannya, Trump justru membawa AS menjadi satu-satunya negara yang mundur dari Persetujuan Paris. Di lain pihak, Biden berjanji jika terpilih akan segera membawa AS, yang memang merupakan negara emitter kedua terbesar di dunia, kembali masuk ke perjanjian soal kewajiban pemotongan emisi itu.

Siapa pun pemimpin AS untuk empat tahun ke depan, Indonesia harus cerdas menyikapi agar kepentingan kita bisa terakomodasi secara maksimal. Kita tak mungkin mengabaikan dinamika di negara adidaya itu, tapi mesti punya strategi-strategi jitu.



Berita Lainnya