Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
SALAH satu keluhan yang kerap muncul selama 21 tahun usia reformasi ialah tidak adanya kesinambungan pembangunan pada setiap pergantian kekuasaan.
Tepatnya sejak 2001, ketika keberadaan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihapuskan seiring dengan amendemen ketiga UUD 1945 yang mereduksi sejumlah fungsi MPR dalam konstruksi ketatanegaraan.
Banyak pihak beranggapan mulai saat itu hingga sekarang pembangunan berlangsung lebih didasari insting alias suka-suka rezim yang tengah berkuasa. Ganti rezim, ganti pula arah, model, dan kebijakan pembangunan.
Arah bangsa seolah hanya disusun berdasarkan visi, misi, dan janji calon presiden saat kampanye pemilihan presiden. Alhasil, kemajuan yang dicapai pun boleh dikata setengah-setengah karena unsur kontinuitas tidak lagi menjadi perhatian utama.
Betul bahwa melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Republik ini punya semacam pengganti GBHN dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Skala waktu RPJP ialah 20 tahun. Lantas dijabarkan lagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan skala waktu 5 tahun.
Namun, pada praktiknya posisi dan kedudukan RPJP maupun RPJM tak sekuat GBHN sebagai sebuah grand design yang diharapkan mampu memandu bangsa ini melintasi sejarahnya. Dengan konsep yang sekarang, tidak ada jaminan program-program yang dibutuhkan rakyat bakal terus berlanjut ketika pemerintahan berganti.
Itulah yang kini sedang didengungkan banyak pihak. Bahkan, seluruh fraksi di MPR diklaim mendukung wacana menghidupkan lagi GBHN demi menyelamatkan pembangunan bangsa. Dengan adanya GBHN, menurut mereka, seluruh anak bangsa diharapkan tahu ke mana seharusnya arah tujuan negara.
Akan tetapi, menghidupkan lagi GBHN sama artinya kita mesti mengubah alias melakukan amendemen lagi terhadap UUD 1945. Padahal sejak reformasi bergulir, kita sudah mengamendemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Tentu tak elok dan tak baik kalau UUD 1945 terlalu sering diubah.
UUD 1945 memang bukan kitab suci yang haram untuk diubah. Meski demikian, perubahan yang dilakukan mesti dilandasi niat dan pikiran yang jernih, rasional, dan tidak dibayang-bayangi kepentingan tertentu.
Budaya mengubah UUD 1945 mungkin wajar, bahkan terlihat progresif di era demokrasi yang kian kental. Namun, keseringan mengubah konstitusi sejatinya juga mencerminkan sebuah inkonsistensi. Bahkan, amendemen yang kebablasan justru akan melahirkan demokrasi yang mengandalkan kekuatan uang dan pragmatisme kekuasaan.
Dengan perspektif seperti itu, wajar bila kemudian sebagian kalangan nasionalis berpendapat, ketimbang kita terus mengubah secara sepotong-potong UUD 1945, mengapa kita tidak membuka kemungkinan untuk kembali ke UUD 1945 asli?
Tentu saja kembali ke dasar niat yang luhur, yakni mewujudkan cita-cita besar berbangsa dan bernegara yang disusun para pendiri bangsa. Toh, dalam penjelasan UUD 1945 yang asli tegas dinyatakan bahwa UUD bersifat singkat dan supel.
"Kita harus senantiasa ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Masyarakat dan negara Indonesia tumbuh, zaman berubah terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang ini.
Oleh karena itu, kita harus hidup secara dinamis, harus melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Berhubung dengan itu, janganlah tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang masih mudah berubah."
Artinya jelas, UUD 1945 sesungguhnya bersifat elastis. Terbuka dengan perubahan. Akan tetapi, sekali lagi UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi.
Dengan kata lain, perubahan atau aturan-aturan untuk menyelenggarakan aturan pokok itu barangkali akan lebih elok diserahkan kepada undang-undang turunan yang lebih mudah dibuat, diubah, dan dicabut.
Gagasan yang kini muncul untuk melakukan amendemen terbatas UUD 1945 sekaligus mengonfirmasikan peringatan para pendiri bangsa untuk jangan tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk, kepada pikiran-pikiran yang masih mudah berubah. Daripada setiap saat tergoda melakukan amendemen, lebih baik kembali ke haluan, kembali ke UUD 1945 yang asli.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi.
PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tidak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat.
DI tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, soliditas di antara para punggawa pemerintah sangat dibutuhkan.
DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved