Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Membaca Kembali Sastra Revolusioner Kita

Iwan Jaconiah
11/9/2022 15:00
Membaca Kembali Sastra Revolusioner Kita
(MI/Sajakkofe)

Sitor Situmorang (1924-2014) 

MEMAHAMI buah pemikiran seseorang sesungguhnya dapat dilakukan secara mudah lewat membaca kembali karya-karyanya secara terperinci. Pada proses pembacaan inilah, kita bisa memahami dan menganalisis intisari sebuah pemikiran secara jernih. 

Pikiran kita seperti orang yang memiliki mata, tetapi tidak memiliki kaki. Kita dapat melihat sesuatu hal, tetapi tidak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara sendirian. 

Dengan cara yang sama, pikiran kita juga dapat melihat objek, namun tidak dapat berpindah dari satu objek ke objek lain dengan sendirinya. Artinya, pikiran mampu berpindah dari satu objek ke objek lain hanya melalui kekuatan “angin batin”. 

“Angin batin” ialah angin halus yang terkait dengan pikiran dan mengalir melalui saluran tubuh. Nah, apakah kita dapat membaca pikiran filsuf, budayawan, cendekiawan? Ini memang sangat sulit, namun bisa saja dilakukan lewat pembacaan kembali akan karya yang pernah mereka tulis. 

Puisi sebagai produk sastra mengalami perkembangan sesuai zamannya. Di Filipina, misalnya, pernah ada Jose Rizal (1861-1896), seorang penulis, penyair dan dramawan. Ia sangat lantang menganjurkan reformasi politik selama pemerintahan kolonial Spanyol di akhir 1800-an. Ia menggunakan sastra, khususnya puisi, sebagai medium. 

Hal tersebut sebagai cara Jose Rizal memprotes ketidaksetaraan, despotisme, penindasan, dan memperjuangkan emansipasi orang miskin di negaranya dari penjajahan. Ia dikenal oleh rakyatnya sebagai penyair yang memberontak melawan ketidakadilan sosial dengan menggunakan medium puisi. 

Pada 1886, ia belajar kedokteran di Universitas Heidelberg, Jerman. Ia menulis novel klasiknya berjudul Noli Me Tangere (1887), yang mengutuk Gereja Katolik di Filipina karena mempromosikan kolonialisme Spanyol. Segera setelah diterbitkan, ia menjadi sasaran polisi¹

Jose Rizal meninggalkan negaranya tak lama kemudian untuk ke Spanyol. Ia pun berhasil melahirkan novel kedua berjudul El Filibusterismo dan diterbitkan oleh penerbit F Meyer van Loo Press, Ghent, Belgium (1891). 

Di Indonesia, laik menyebut seorang Sitor Situmorang (1924-2014). Ia adalah sastrawan yang menggunakan sastra sebagai medium. Perjalanan karir sebagai pengarang telah membawanya ke berbagai tempat berbeda di dunia ini hingga akhir hayatnya. 

Untuk memahami ide dan jalan pikiran Sitor, saya membaca kembali sebuah bukunya berjudul Sastra Revolusioner, kumpulan esai (1965). Esai-esai itu kemudian dipilih dan diterbitkan kembali dengan judul yang sama oleh Penerbit Matahari, Yogyakarta (2004). 

Menimbang buku setebal 311 halaman ini memberikan sebuah benang merah bahwa Sitor sangat menjaga idealismenya dalam kesusastraan, kebudayaan, dan jurnalistik. Maklum, ia juga pernah aktif sebagai wartawan saat menulis buku tersebut. 

Berbagai pandangan tokoh-tokoh Barat, Soviet Rusia, China, dan Indonesia begitu kuat ia tuangkan ke dalam tulisan-tulisannya sehingga kaya referensi. Itu menjadi bukti bahwa kegiatan menulis harus didasarkan pada ide dan pikiran yang jernih. 

Dalam kesusastraan, Sitor mengusung sastra revolusioner dalam pandangannya. Sebuah gerakan yang bertolak dari kenyataan bahwa sastra adalah bagian dari suatu sistem sosial-budaya, yaitu berupa unsur bangunan atas suatu zaman dari sebuah bangsa (hlm 210). 

Sastra dan pembebasan kelas 

Teori humanisme universal dalam gagasan sastra menolak perjuangan pembebasan kelas. Berbeda dengan humanisme sosialis yang melihat segala sesuatu dalam hubungan dinamika (hlm 212). Artinya, pengungkapan realis tentang keadaan sosial dapat memberi pengertian tentang adanya penderitaan. 

Baik gagasan sastra humanisme universal maupun humanisme sosialis bisa kita lihat dalam perpuisian hingga ini hari. Banyak penyair kontemporer yang masih mengusung tema keindahan, sebaliknya banyak pula yang menuliskan tema penderitaan.

Dua kutub sastra realisme sosial dan humanisme universal memiliki para pengikut setia hingga abad ke-21 ini. 

Pemikiran Sitor memberi gambaran bahwa dalam masyarakat sosialis, sastra adalah milik rakyat. Pada masyarakat yang hendak membangun masyarakat sosial, segala sesuatunya harus dikerjakan dan diperjuangkan agar akhirnya rakyat yang memiliki sastra. 

Di sinilah terkandung makna bahwa sastrawan dan sarjana sastra harus mengerjakan sekaligus memperjuangkan segala sesuatu agar hal-hal kebersamaan tercapai. 

Sedangkan, dalam masyarakat feodal ataupun borjuis, sastrawan dan sarjana sastra adalah hanya pemberi. Mereka memberikan sesuai dengan prinsip penghisap di bidang ekonomi dan sosial, yang menjadi dasarnya (hlm 167). 

Sitor melihat secara terperinci atas tatanan sosial budaya di era 60-an lewat kajian yang cerdas. Bahkan telaah tentang sejarah etnis Batak juga ia tuangkan lewat kajian antropologi secara komprehensif²

Sebagai pengagum dan pengikut setia Bung Karno–sebagaimana kaum eksil lainnya yang masih hidup dalam usia senja mereka di Belanda, Ceko, Prancis, dan Rusia–Sitor telah menuangkan segala ide dan pemikirannya lewat karya-karya secara bijak. 

Buah pikiran Sitor selalu ada dan telah menjadi kajian serius di sejumlah perguruan tinggi, baik dalam maupun luar negeri. Referensi atas karya-karyanya digunakan untuk melihat dan membaca kembali sejarah. Gerakan sastra revolusi pernah terjadi di era pascaperang Dunia ke-2 di Indonesia. 

Nilai-nilai kerakyatan yang bersumber pada sastra realisme sosial menjadi pondasi. Secara langsung telah membentuk Sitor sebagai sesosok sastrawan yang selalu dicintai dan dikenang sebagai Angkatan 45. 

Ia telah menjadi bagian penting bersama sederet tokoh-tokoh lainnya, seperti Chairil Anwar (1922-1949) dan Pramoedya Ananta Toer (1925-2006). Mereka telah memperkaya perjalanan sastra di Republik ini. (SK-1) 


Bacaan rujukan 
¹ Quirino, Carlos. The Great Malayan: The Biography of Rizal. Manila: Philippine Education Company, 1958. Hlm 75. 
² Situmorang, Sitor. Toba na sae: sejarah lembaga sosial politik abad XIII-XX. Depok: Komunitas Bambu, 2004. 

 

Baca juga: Sajak-sajak Boris Pasternak 
Baca juga: Sajak-sajak Ted Rusiyanto 
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia 

 

 

 

 

Iwan Jaconiah adalah penyair, editor puisi Media Indonesia, dan kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin (2022), sebuah buku tentang kisah pelajar dan diaspora Indonesia dari Rusia. 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah
Berita Lainnya