Headline
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
Pakar Hukum Tata Negara dan Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini menepis pandangan Golkar soal Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru terkait putusan No.135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal.
Menurut Titi, pernyataan itu keliru sebab transformasi MK dalam perkembangannya tidak lagi menjadi sekadar negative legislator dalam meneruskan suatu perkara, tetapi sudah melangkah progresif sebagai lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi.
“Misalnya Putusan MK tentang sistem pemilu pada tahun 2009, termasuk juga Putusan soal syarat usia calon di Pilpres yang terang-terangan memosisikan MK bukan sebagai negative legislator. Ternyata semua partai tidak ada satupun memprotes Putusan MK No.90/PUU-XXI/2024 soal syarat usia tersebut. Mestinya partai tidak tebang pilih,” katanya kepada Media Indonesia, hari ini.
Selain itu, Titi menekankan bahwa putusan MK tidak mencuri kedaulatan rakyat ataupun bertentangan dengan konstitusi Pasal 22E UUD 1945 seperti yang dikatakan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Fraksi Golkar, Nurdin Halid.
“Alih-alih menyatakan Putusan MK tidak mengikat, lebih baik partai dan pembentuk undang-undang menunjukkan kepatuhan berkonstitusi dan segera menindaklanjuti putusan MK ini dengan Perubahan UU Pemilu,” tukasnya.
Titi menilai berdasarkan evaluasi dua kali pemilu serentak pada 2019 dan 2024, saat ini UU Pemilu dan Pilkada yang ada tidak lagi kompatibel untuk merespon perkembangan pemilu di Indonesia.
“Justru saat ini lebih penting bagi pembentuk UU, termasuk partai-partai yang ada di dalam parlemen, untuk memikirkan desain sistem, manajemen, kelembagaan, dan keadilan pemilu yang kompatibel dengan desain keserentakan sebagaimana telah diputus oleh MK,” ujarnya.
Titi menilai partai politik jangan hanya melayangkan protes untuk kepentingan segelintir pihak, tetapi harus mampu mendengarkan berbagai pandangan dari masyarakat luas dan seluruh pemangku kepentingan.
Menurutnya, hal itu penting agar Putusan MK bisa diterjemahkan menjadi kebijakan yang tepat dan sejalan dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pemilu Indonesia.
“Narasi yang langsung menyimpulkan Putusan MK inkonstitusional sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah terlalu fatalistik dan menunjukkan preseden yang buruk bagi praktik negara hukum berdasar demokrasi konstitusional, dimana Putusan MK bersifat final dan mengikat,” jelas Titi.
Titi menegaskan bahwa pembentuk undang-undang (UU) seharusnya tidak lagi membenturkan putusan MK dengan aturan lainnya dan segera mengubah UU Pemilu UU No.7 tahun 2017, agar berbagai konsekuensi yang timbul dari Putusan MK tersebut bisa diatur dengan baik dan memperhitungkan berbagai aspek secara holistik.
Di samping itu, Titi melihat bahwa banyak pasal-pasal dalam UU Pemilu yang sudah dibatalkan dan direkonstruksi oleh MK sehingga sangat mendesak untuk dilakukan revisi dan penyesuaian.
“Kalau DPR dan Pemerintah tidak menindaklanjuti Putusan MK, maka akan jadi preseden buruk yang justru bisa menimbulkan kemarahan atau protes besar publik,” jelasnya.
Titi mengajak pemangku kepentingan untuk berkaca pada kasus penggagalan putusan MK terkait ambang batas pencalonan pilkada pada Agustus tahun lalu yang disikapi dengan gerakan aksi massa di masyarakat. Jika hal itu kembali terjadi, dapat menimbulkan kondisi instabilitas politik yang mengganggu rencana pembangunan.
“Apabila ada sikap serupa saat ini, saya kira pasti akan sangat destruktif sekali dampaknya. Padahal Presiden Prabowo sangat membutuhkan stabilitas politik dan hukum dalam rangka menjalankan berbagai program-programnya yang sangat strategis dan mendesak,” pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Fraksi Golkar, Nurdin Halid, menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta pemilu nasional dan daerah dipisah. Nurdin menilai MK telah melampaui kewenangannya dan menjadi pembentuk norma baru selain DPR serta pemerintah.
“MK sudah terlampau jauh memasuki ranah pembentuk undang-undang sehingga sejumlah putusan MK menjadi polemik konstitusional. MK memasuki ranah yang bukan menjadi kewenangan MK,” kata Nurdin kepada wartawan, Sabtu (5/7).
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terhadap 15 perkara pengujian undang-undang.
Tim dari Kemendagri, lanjutnya, melakukan pengecekan dan survei ke lapangan sebagai upaya penyelesaian sengketa. Menurutnya itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
Putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025 selanjutnya akan dibahas lebih lanjut. Ia mengatakan perlu regulasi yang detail untuk menjalankan putusan MK tersebut.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Semua pihak harus berhati-hati dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135 tahun 2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Kendati belum ada pembicaraan dan pembahasan resmi, Dede menyatakan Partai Demokrat akan mengikuti keputusan MK beserta dengan segala aturan turunannya ke depan.
Dampak negatif dari yang kalah, kata Bahlil, memicu konflik horizontal, seperti perseteruan antartetangga, hingga memicu perceraian di rumah tangga.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2012-2017 itu menilai, putusan MK relevan dengan kebutuhan demokrasi.
Hal tersebut diperlukan agar jalannya perhelatan pemilu mendatang terselenggara dengan lebih baik dan berkualitas demi perbaikan demokrasi Indonesia ke depan.
Puan mengacu pada Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu lima tahunan untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Rifqi mengeluhkan bahwa isu kepemiluan selalu hadir. Meski pesta demokrasi itu sudah beres
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved