Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan bahwa syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20% yang tercantum dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, inkonstitusional. Putusan ini menilai ketentuan tersebut bertentangan dengan hak politik rakyat, kedaulatan rakyat, serta prinsip moralitas dan keadilan, yang bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 222 mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat maju jika diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20% kursi di DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.
“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 seperti dikutip laman resmi Mahkamah Konstitusi, Kamis (2/1).
Mahkamah menilai bahwa ambang batas pencalonan presiden yang ada selama ini menyebabkan terbatasnya pilihan bagi pemilih. Hal ini berpotensi mengurangi alternatif pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dapat dipilih masyarakat.
Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik di Indonesia, kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon.
Sejarah pemilu presiden di Indonesia menunjukkan kecenderungan hanya muncul dua pasangan calon, yang berpotensi menyebabkan polarisasi di masyarakat. Mahkamah khawatir jika hal ini terus berlanjut, bisa muncul calon tunggal yang mengancam kebhinekaan Indonesia.
Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.
MK juga mempertimbangkan potensi munculnya banyak pasangan calon presiden, yang bisa merusak kualitas pemilu langsung. Namun, Mahkamah tetap membuka ruang bagi rekayasa konstitusional untuk mengatur jumlah pasangan calon agar tidak terlalu banyak, tanpa mengurangi hak konstitusional partai politik.
Keputusan ini membuka peluang bagi semua partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden tanpa dibatasi oleh persentase kursi di DPR atau suara sah. Mahkamah juga memberikan pedoman agar tidak muncul pasangan calon yang terlalu banyak, yang bisa merusak kualitas demokrasi presidensial.
Dalam Putusan ini, Mahkamah juga memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Masa jabatan keuchik tetap sesuai Pasal 115 ayat (3) Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yakni dibatasi enam tahun.
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terhadap 15 perkara pengujian undang-undang.
Harimurti menambahkan ketidakpastian hukum ini dapat dilihat dari data empiris yang menunjukkan adanya variasi putusan pengadilan dalam memaknai Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009.
GURU Besar Ilmu Media dan Jurnalisme Fakultas Ilmu Sosial Budaya UII, Masduki, mengajukan judicial review (JR) terkait UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pasal 65 ke MK.
DPC FPE KSBSI Mimika Papua Tengah mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) ke MK
PUTUSAN MK No.135/PUU-XXII/2024 memunculkan nomenklatur baru dalam pemilu.
Oleh karena itu, diskusi publik harus dibuka seluas-luasnya agar apapun yang menjadi harapan tidak meleset ketika dibawa ke DPR.
Bima menilai, tidak semua parpol memenuhi indeks kelembagaan yang ideal, khususnya dalam hal rekrutmen dan pendanaan.
Dia menjelaskan selama menggunakan sistem PT, partai politik yang tak memiliki perolehan suara minimal 20 persen harus membangun koalisi agar bisa memenuhi syarat pencalonan.
Dia mengatakan partai-partai kecil belum berani mencalonkan. Karena diduga putusan MK terkait syarat pencalonan untuk pillkada belum lama diputuskan.
Putusan MK yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidensial threshold) dapat berimplikasi kepada pengaturan sistem kepartaian.
Tidak hanya partai politik, tetapi juga masyarakat yang akan memilih dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden tentunya
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved