Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
Pengamat politik dari Universitas Brawijaya Andhyka Muttaqin menyatakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT) meminimalkan terjadinya politik transaksional.
"Dengan dihapusnya PT setiap partai politik berpeluang maju sendiri tanpa harus 'menyewa' dukungan partai lain. Artinya, politik transaksional berkurang," kata Andhyka di Kota Malang, hari ini.
Dia menjelaskan selama menggunakan sistem PT, partai politik yang tak memiliki perolehan suara minimal 20 persen harus membangun koalisi agar bisa memenuhi syarat pencalonan.
Kondisi tersebut disebutnya kerap memicu munculnya politik transaksional di balik layar atau dengan kata lain keputusan politik lebih berorientasi pada bagi-bagi kekuasaan dibanding kepentingan rakyat.
"Dihapuskannya PT juga membuat kontestasi politik bisa lebih sehat karena fokus pada adu gagasan, bukan sekadar lobi politik," ujarnya.
Andhyka menyatakan tanpa adanya ambang batas pencalonan, setiap partai politik sudah tidak perlu lagi membentuk koalisi besar untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam kontestasi pemilihan umum (pemilu).
Hal itu dinilainya mampu membuka peluang bagi lebih banyak calon tampil di panggung politik. "Implikasinya masyarakat memiliki lebih banyak pilihan pemimpin. Ini tentu selaras dengan semangat demokrasi yang mengedepankan keterbukaan," ucap dia.
Pada Kamis (2/1), MK secara resmi memutuskan menghapus ketentuan tentang PT pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, melalui Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024.
Putusan itu terbit karena sistem PT dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
MK berpandangan adanya sistem PT yang diatur di dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tak mempunyai perolehan suara sah secara nasional atau jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, putusan tersebut juga terbit setelah MK mempelajari arah pergerakan politik Indonesia yang cenderung mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon. Kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.(Ant/P-2)
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terhadap 15 perkara pengujian undang-undang.
Tim dari Kemendagri, lanjutnya, melakukan pengecekan dan survei ke lapangan sebagai upaya penyelesaian sengketa. Menurutnya itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
Putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025 selanjutnya akan dibahas lebih lanjut. Ia mengatakan perlu regulasi yang detail untuk menjalankan putusan MK tersebut.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Semua pihak harus berhati-hati dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135 tahun 2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Oleh karena itu, diskusi publik harus dibuka seluas-luasnya agar apapun yang menjadi harapan tidak meleset ketika dibawa ke DPR.
Bima menilai, tidak semua parpol memenuhi indeks kelembagaan yang ideal, khususnya dalam hal rekrutmen dan pendanaan.
Dia mengatakan partai-partai kecil belum berani mencalonkan. Karena diduga putusan MK terkait syarat pencalonan untuk pillkada belum lama diputuskan.
Putusan MK yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidensial threshold) dapat berimplikasi kepada pengaturan sistem kepartaian.
Tidak hanya partai politik, tetapi juga masyarakat yang akan memilih dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden tentunya
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved