Headline

Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.

Dinilai Multitafsir, Pasal 31 UU Bahasa Digugat ke MK

Media Indonesia
12/8/2025 21:13
Dinilai Multitafsir, Pasal 31 UU Bahasa Digugat ke MK
Ilustrasi(Dok Unas)

DEMOCRACY, Economic & Constitution Institute (Deconstitute) dan empat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas) menggugat Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang pertama pengujian undang-undang tersebut digelar hari ini dan tercatat dengan nomor perkara 127/PUU-XXIII/2025. 

Para pemohon yang dipimpin Direktur Eksekutif Deconstitute Harimurti Adi Nugroho dan kuasa hukum para pemohon menguji frasa "wajib digunakan" dalam Pasal 31 ayat (1) UU No 24 Tahun 2009 karena dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan melahirkan beragam tafsir di masyarakat.

Dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 127/PUU-XXIII/2025 itu, para pemohon memaparkan dalil-dalil pokok permohonannya yang berfokus pada ambiguitas makna dari frasa "wajib digunakan" pada kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia untuk perjanjian dengan pihak asing. 

Dalam perkara ini, terdapat lima pihak yang menjadi pemohon, yakni Devi Ramadhani, Yanhar Mizam, Agung Ramadhan dan Anandhita Sandryana sebagai mahasiswa Unas, serta Deconstitute sebagai ormas berbadan hukum.
"Sidang hari ini adalah momentum penting untuk menguji norma yang selama ini menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Ini juga penting untuk menegakkan kedaulatan bahasa negara sesuai amanat konstitusi UUD 45 pasal 36 dan memperkuat nilai nasionalisme," ujar Harimurti usai sidang.

Harimurti menambahkan ketidakpastian hukum ini dapat dilihat dari data empiris yang menunjukkan adanya variasi putusan pengadilan dalam memaknai Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009.

Berdasarkan penelitian periode 2015-2021, dari 10 kasus yang dianalisis, terdapat 13 entri putusan dengan hasil yang beragam yakni sebagian menyatakan perjanjian "Batal Demi Hukum", sementara lainnya menyatakan "Sah dan Mengikat" atau "Pengadilan Tidak Berwenang". “Argumentasi kami kuat dan didukung oleh data empiris,” kata Harimurti.

Dalam menutup permohonannya, para pemohon meminta agar MK menyatakan frasa "wajib digunakan" bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai kewajiban yang bersifat imperatif dan tidak dapat dikesampingkan dengan alasan apa pun, termasuk prinsip kebebasan berkontrak atau itikad baik. 

Permintaan ini sejalan dengan mayoritas putusan pengadilan dalam memaknai kewajiban dalam Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009 yang seharusnya menjadi yurisprudensi. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya