Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
DEMOCRACY, Economic & Constitution Institute (Deconstitute) dan empat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas) menggugat Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang pertama pengujian undang-undang tersebut digelar hari ini dan tercatat dengan nomor perkara 127/PUU-XXIII/2025.
Para pemohon yang dipimpin Direktur Eksekutif Deconstitute Harimurti Adi Nugroho dan kuasa hukum para pemohon menguji frasa "wajib digunakan" dalam Pasal 31 ayat (1) UU No 24 Tahun 2009 karena dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan melahirkan beragam tafsir di masyarakat.
Dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 127/PUU-XXIII/2025 itu, para pemohon memaparkan dalil-dalil pokok permohonannya yang berfokus pada ambiguitas makna dari frasa "wajib digunakan" pada kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia untuk perjanjian dengan pihak asing.
Dalam perkara ini, terdapat lima pihak yang menjadi pemohon, yakni Devi Ramadhani, Yanhar Mizam, Agung Ramadhan dan Anandhita Sandryana sebagai mahasiswa Unas, serta Deconstitute sebagai ormas berbadan hukum.
"Sidang hari ini adalah momentum penting untuk menguji norma yang selama ini menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Ini juga penting untuk menegakkan kedaulatan bahasa negara sesuai amanat konstitusi UUD 45 pasal 36 dan memperkuat nilai nasionalisme," ujar Harimurti usai sidang.
Harimurti menambahkan ketidakpastian hukum ini dapat dilihat dari data empiris yang menunjukkan adanya variasi putusan pengadilan dalam memaknai Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009.
Berdasarkan penelitian periode 2015-2021, dari 10 kasus yang dianalisis, terdapat 13 entri putusan dengan hasil yang beragam yakni sebagian menyatakan perjanjian "Batal Demi Hukum", sementara lainnya menyatakan "Sah dan Mengikat" atau "Pengadilan Tidak Berwenang". “Argumentasi kami kuat dan didukung oleh data empiris,” kata Harimurti.
Dalam menutup permohonannya, para pemohon meminta agar MK menyatakan frasa "wajib digunakan" bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai kewajiban yang bersifat imperatif dan tidak dapat dikesampingkan dengan alasan apa pun, termasuk prinsip kebebasan berkontrak atau itikad baik.
Permintaan ini sejalan dengan mayoritas putusan pengadilan dalam memaknai kewajiban dalam Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009 yang seharusnya menjadi yurisprudensi. (H-2)
Pameran ini merefleksikan bagaimana gagasan mahasiswa mulai bergema di luar ruang kuliah dan memasuki industri, komunitas, dan budaya yang lebih luas.
Ide penelitian itu akan ditampung dan dikurasi. Sehingga ketika dana dikucurkan, mahasiswa dapat menyalurkan ide riset, peneltian mereka.
Penangkapan dilakukan di Jalan Ahmad Yani Timur, Desa Sucikaler. Dari tangan pelaku, polisi menyita barang bukti tembakau sintesis siap edar.
Pelatihan berlangsung dalam suasana disiplin khas militer, sebagai bentuk pembentukan karakter dan ketahanan fisik mahasiswa.
Langkah ini merupakan bentuk investasi jangka panjang untuk mencetak atlet profesional yang dapat mengharumkan nama Kabupaten Tangerang di kancah nasional dan internasional.
GURU Besar Ilmu Media dan Jurnalisme Fakultas Ilmu Sosial Budaya UII, Masduki, mengajukan judicial review (JR) terkait UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pasal 65 ke MK.
DPC FPE KSBSI Mimika Papua Tengah mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) ke MK
PUTUSAN MK No.135/PUU-XXII/2024 memunculkan nomenklatur baru dalam pemilu.
Pemohon, aktivis hukum A. Fahrur Rozi, hadir langsung di ruang persidangan di Gedung MK, Jakarta.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menegaskan data pribadi sebagai hak bagi setiap warga negara wajib untuk dilindungi secara maksimal
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved