Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
KETUA Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna mengaku perasaannya remuk setelah melihat kondisi MK saat ini yang semakin hari semakin dilemahkan. Sebagai mantan hakim MK, dia mengaku miris dan kecewa atas semua perilaku pembuat kebijakan yang semakin memperburam masa depan MK.
"Saya sedih (dengan masa depan MK). Saya bicara sambil ketawa begini di mulut, tetapi di hati saya remuk sebenarnya. Itulah yang terjadi," keluh Palguna kepada Media Indonesia, Rabu (15/5).
Palguna juga mengaku geram saat mengetahui cara DPR yang membahas revisi UU tentang Mahkamah Konstitusi yang dilakukan dengan cara diam-diam di masa reses.
Baca juga : Arsul Sani Dilantik jadi Hakim Konstitusi saat MK Berupaya Mengembalikan Kepercayaan Publik
“Sudah membahas dengan sembunyi-sembunyi, entah apa yang ditakuti. Secara prosedural saja sudah keliru. Masa membahas UU yang akan diberlakukan ke publik, sudah nyata-nyata dinyatakan MK harus ada partisipasi yang bermakna dari masyarakat. Kemudian itu juga dilakukan di masa reses pula,” kata dia.
“Saya merasa aneh juga, melihat DPR serajin ini membahas UU yang menurut saya substansi yang dibahas juga tidak ada urgensinya sama sekali,” tambahnya.
Ketua MKMK itu mengaku heran, mengapa poin yang selalu saja diutak-atik terkait perubahan UU MK selalu terkait usia dan masa jabatan hakim MK.
Baca juga : Besok Ketua MK Suhartoyo Lantik Anggota MKMK Permanen
“Sebenarnya ada masalah apa sih soal masa jabatan hakim konstitusi dan umur hakim konstitusi? Kok itu terus yang diutak-atik sama pembuat UU. Saya bertanya sembari bergurau, tapi serius. Jangan-jangan soal usia dan masa jabatan hakim itu perlu diruwat itu ya? Supaya jadi tidak jadi persoalan setiap hari, itu saja diutak-atik sama pembuat UU,” ucap dia.
Padahal, menurut Palguna, ada hal yang lebih substantif dan lebih penting jika ingin UU MK dilakukan perubahan. Misalnya seperti mengenai hukum acara. Apabila terjadi impeachment presiden, Palguna mengatakan hal itu belum diatur di UU MK.
“Itu tidak bisa diatur di Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Begitu juga hukum acara pembubaran partai politik yang merupakan kewenangan MK. Itu mana hukum acaranya?” kata Palguna.
Baca juga : MKMK Permanen cuma Terima Aduan Etik Hakim
“Itu masih diatur dalam PMK semua. Padahal, secara teori perundang-undangan, itu materi muatan UU,” tambahnya.
Palguna merasa upaya yang dilakukannya untuk memberikan saran dan masukan menjadi sia-sia saja selama ini. Sebab, usulan yang sebenarnya substantif dan lebih mendesak, tak pernah digubris oleh pembuat undang-undang.
“Saya berpikir, masih perlu tidak sih ahli yang bicara soal begini kalau tidak diperhatikan? Mungkin ini sudah kali kelima saya bicara soal pentingya perubahan hukum acara, kalau memang mau melakukan perubahan UU MK. Akhirnya kita ngomong cuma untuk menggrundel saja. Tetapi tidak ada yang memperhatikan,” pungkasnya. (Dis/Z-7)
Masa jabatan keuchik tetap sesuai Pasal 115 ayat (3) Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yakni dibatasi enam tahun.
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terhadap 15 perkara pengujian undang-undang.
Harimurti menambahkan ketidakpastian hukum ini dapat dilihat dari data empiris yang menunjukkan adanya variasi putusan pengadilan dalam memaknai Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009.
GURU Besar Ilmu Media dan Jurnalisme Fakultas Ilmu Sosial Budaya UII, Masduki, mengajukan judicial review (JR) terkait UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pasal 65 ke MK.
DPC FPE KSBSI Mimika Papua Tengah mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) ke MK
PUTUSAN MK No.135/PUU-XXII/2024 memunculkan nomenklatur baru dalam pemilu.
PSU Pilkada 2024 di sejumlah daerah berpotensi terjadi lagi. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menerima sejumlah permohonan sengketa hasil PSU Pilkada 2024 jilid I
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU MK tersebut tidak menentukan secara jelas mengenai jumlah komposisi hakim konstitusi perempuan dan laki-laki.
EMPAT mahasiswi FH UII menggugat Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang pengangkatan/pengisian hakim konstitusi karena tidak mengatur kuota perempuan.
Usai sidang dismissal perkara Perselisihan Hasil Pilkada (PHP-kada), MK akan menggelar sidang pemeriksaan lanjutan terhadap tahap pembuktian perkara. Rencana putusan selesai 24 Februari
MKMK akan segera menindak lanjuti laporan atas dugaan pelanggaran etik sembilan hakim konstitusi dalam proses persidangan sengketa pilkada
Adetia Sulius Putra meminta kepada MK untuk memaknai dirinya sendiri sebagai pihak yang tidak memiliki kewenangan dalam memutuskan perkara
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved