Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
Ketiadaan aturan mengenai keterwakilan perempuan dalam komposisi hakim konstitusi dipersoalkan menjadi alasan enam mahasiswa memohonkan uji materiil Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para Pemohon menilai Pasal 18 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, ditetapkan dengan Keputusan Presiden” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945.
Salah satu pemohon, Safira Ika Maharani menjelaskan bahwa meskipun para Pemohon belum memenuhi syarat kumulatif menjadi hakim Mahkamah Konstitusi, namun berpotensi untuk memenuhi syarat menjadi hakim konstitusi di masa mendatang.
“Dengan demikian, para Pemohon setidak-tidaknya potensial mengalami kerugian konstitusional atas keberlakuan norma tersebut,” katanya pada Sidang Pendahuluan Perkara 27/PUU-XXIII/2025 di Gedung MK pada Kamis (24/4).
Safira menekankan bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU MK tersebut tidak menentukan secara jelas mengenai jumlah komposisi hakim konstitusi perempuan dan laki-laki. Ia menilai terdapat ketidakpastian hukum karena secara aktual dan potensial tidak terdapat kepastian kuota kursi menjadi hakim konstitusi.
Utamanya para Pemohon meminta agar diberikan ruang yang terbuka bagi perempuan untuk ikut andil dalam penentuan keputusan hukum di masyarakat, termasuk menjadi hakim konstitusi dengan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam komposisi hakim konstitusi.
“Atas dalil tersebut, para Pemohon memohon agar Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) untuk selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden,” ucap Safira dalam petitumnya.
Kerugian Konstitusional
Dalam nasihat Hakim Panel, Hakim Konstitusi Guntur mempertanyakan kenapa para Pemohon tidak mengaitkan kerugian konstitusional dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.
“Terkait hakim konstitusi sudah sangat jelas dalam Pasal 24C ayat (3) yang tidak digunakan pada permohonan ini, padahal Mahkamah menjadikan dasar pengujian norma itu adalah konstitusi,” jelas Guntur.
Sementara Hakim Konstitusi Ridwan dalam nasihatnya memberikan catatan terkait kedudukan hukum para Pemohon laki-laki.
“Kedudukan dan kepentingannya serta potensial kerugian yang dialami laki-laki atas kuota 30% ini apa saja?” tanya Ridwan.
Terkait alasan permohonan, Hakim Konstitusi Ridwan juga meminta para Pemohon untuk teliti memaknai dasar gender dalam pengujian norma. Sehingga tidak sekadar menyatakan affirmative action dengan pencantuman 30% kuota hakim perempuan dari sembilan hakim konstitusi.
Kemudian Hakim Konstitusi Enny dalam nasihatnya meminta para Pemohon untuk mencermati kedudukan hukum sebagai mahasiswa.
“Ketersambungannya agak jauh, bagaimana legal standing bisa menyakinkan atas kerugian konstitusional. Pertimbangkan kembali Pasal 18 ayat (1) ini tidak bisa dipisahkan dnegan Pasal 24C UUD 1945 dan jabatan MK ini selective official. Jika dikabulkan apa dampaknya dan tidakkah akan menimbulkan diskriminasi,” terang Enny. (Dev/P-1)
KPU Mochammad Afifuddin mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk memisahkan pemilu tingkat nasional dan lokal mulai 2029.
Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi terhadap Pasal 229 UU MD3 yang meminta agar semua rapat DPR wajib digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan bahwa mulai tahun 2029, pemilihan umum (pemilu) di Indonesia harus diselenggarakan secara terpisah antara pemilu nasional dan pemilu daerah.
EDITORIAL Media Indonesia (14/6/2025) berjudul ‘Bertransaksi dengan Keadilan’ menyodorkan perspektif kritis di balik rencana penaikan gaji hakim oleh negara.
Supratman mengatakan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing yang memadai sebab bukan prajurit aktif dan bukan siswa sekolah kedinasan militer.
Supremasi sipil dalam UU TNI belum sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya dalam situasi jika terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Empat orang mantan komisioner DKPP memohon supaya DKPP dipisahkan dari Kementerian Dalam Negeri dan nomenklaturnya diubah.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) dijadwalkan menggelar sidang perdana atas uji materi Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) siang ini, Jumat (25/4).
Ke-29 musisi dalam permohonan ini meminta agar Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta dinyatakan inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum.
Banyaknya angka nol yang terdapat dalam mata uang rupiah oleh Pemohon dinilai sebagai hal yang tidak efisien.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved