Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
PENGAJAR hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menyampaikan ada banyak persoalan yang terjadi pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Dissenting opinion dari ketiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin, kata Titi, juga perlu jadi pertimbangan bagi pelaksanaan pemilu ke depan.
Karena itu, untuk mencegah berulangnya masalah penyelenggaraan pemilu serentak di periode berikutnya, Titi berpesan agar para pemangku kebijakan membenahi sistem yang ada.
“Harus dibuat peraturan dalam Peraturan KPU dan/atau Permendagri bahwa distribusi bantuan sosial yang berhimpitan dengan tahapan pilkada tidak boleh dilakukan pejabat publik berlatar belakang politik,” ucap dia kepada Media Indonesia, Sabtu (27/4).
Baca juga : KPU Didesak Benahi Daftar Pemilih
Dia juga berpesan agar penyelenggaraan pemilu atau pilkada besok tidak lagi melakukan simbolisasi penyerahan atau penggunaan simbol-simbol personal yang bisa memberi insentif elektoral.
“Harus diatur diatur dalam Peraturan KPU dan/atau Permendagri berupa pelarangan penggunaan penggunaan simbol-simbol petahana yang akan/maju di pilkada dalam program-program pemerintah dan iklan layanan masyarakat yang bisa memberi insentif elektoral,” tegas Titi.
Selain itu, juga perlu diatur dalam Peraturan Bawaslu terkait persyaratan baku maupun tata urut atau pisau analisis yang harus digunakan oleh Bawaslu dalam menentukan bagaimana suatu peristiwa dianggap memenuhi atau tidak memenuhi syarat materiil, sehingga menyebabkan penarikan kesimpulan dari peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran pemilu dilakukan secara komprehensif.
Baca juga : KPU Bersiap Hadapi Sengketa Hasil Pileg di MK
Lebih lanjut, Titi berpesan, ke depan harus dilakukan penyempurnaan dan penyiapan serius penggunaan SIREKAP untuk Pilkada Serentak 2024.
Untuk jangka panjang, dalam rangka memperbaiki kualitas dan integritas pemilu, maka perlu dilakukan hal-hal seperti mendesak bagi pembentuk UU hasil Pemulu 2024 untuk menyusun ‘Kodifikasi Pengaturan Pemilu dan Pilkada’ dalam satu naskah undang-undang. Hal itu agar ada koherensi dan konsistensi pengaturan hukum pemilu di Indonesia.
“Jika Bawaslu masih ditempatkan sebagai satu-satunya pintu masuk penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa, maka persyaratan anggota Bawaslu harus diubah menjadi berlatar belakang Sarjana Hukum atau pernah menjadi anggota Bawaslu,” pesan dia.
Baca juga : KPU Yakin Putusan MK akan Merujuk UU Pemilu
“Harus ada keserentakan seleksi penyelenggara pemilu di luar tahapan pemilu agar tidak mengganggu profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilu dalam menyelenggarakan tahapan pemilu dan pilkada,” tambahnya.
Pembentuk Undang-Undang juga harus mengakomodir berbagai Putusan MK yang mengubah sejumlah ketentuan UU terkait penataan dapil, ambang batas parlemen, persyaratan calon, PHPU Pilkada tetap ditangani oleh MK, dan lain-lain.
“Selain itu, durasi waktu penanganan PHPU Pilpres disamakan dengan PHPU Legislatif, yaitu selama 30 hari kerja,” pungkasnya. (Dis/Z-7)
Menurut Perludem, putusan MK sudah tepat karena sesuai dengan konsep pemilu yang luber dan jurdil, dan disertai dengan penguatan nilai kedaulatan rakyat.
PARTAI politik di DPR begitu reaktif dalam merespons Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2025.
KETUA Badan Legislasi DPP PKS Zainudin Paru mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang menahan diri dengan menolak putusan terkait ketentuan persyaratan pendidikan capres-cawapres,
Jimly Asshiddiqie meminta para pejabat dapat membiasakan diri untuk menghormati putusan pengadilan.
Apabila ada sesuatu isu tertentu yang diperjuangkan oleh pengurus atau aktivis, kemudian gagasannya tidak masuk dalam RUU atau dalam UU langsung disebut partisipasi publiknya tidak ada.
Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 tersebut.
Keputusan MK terkait PHPU kepala daerah pasca-PSU semestinya bisa memberikan kepastian hukum dan terwujudnya ketertiban di daerah.
Dijelaskan pula, persidangan pemeriksaan perkara akan tetap menggunakan mekanisme sidang panel.
Dalam menyikapi pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) yang menjadi salah satu bagian dari hasil putusan MK perlu disikapi dan dilaksanakan dengan baik.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang Pengucapan Putusan terhadap 40 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU-Kada).
Dari total 314 permohonan terdapat 309 yang resmi teregistrasi sebagai perkara.
Pelantikan perlu digelar setelah semua tahapan selesai, termasuk proses PHPU itu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved