Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
MANTAN Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqi mengajak semua pihak untuk menghormati keputusan MK yang dikeluarkan dalam sidang penyelesaian perkara-perkara sengketa hasil pilkada serentak 2024.
Menurut Jimly, hal terpenting adalah sudah diputuskannya hasil sidang perkara yang bersifat final dan mengikat. Dengan demikian menjadi keharusan bagi pihak pemohon untuk mematuhi keputusannya.
Perselisihan (sengketa) yang terjadi antara peserta pemilu hingga kemudian menimbulkan gangguan keamanan karena adanya perasaan ketidakadilan yang dialami oleh seseorang, sehingga merasa keadilan itu harus direbut.
Oleh sebab itu, dalam menyikapi pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) yang menjadi salah satu bagian dari hasil putusan MK perlu disikapi dan dilaksanakan dengan baik oleh para pihak pemohon.
Sehingga imbauan untuk tetap menjaga keamanan tidak perlu susah payah dilakukan. Meski demikian, nantinya, aparat keamanan tentu harus bertindak dan berusaha menenangkan bahwa putusan MK ini sudah final dan tidak lagi bisa diganggu gugat.
Hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan bersama adalah apakah alokasi anggaran untuk pelaksanaan PSU sudah ada. Sebab kalau ternyata anggaran untuk PSU tidak ada, maka sebaiknya pelaksanaan PSU itu diundur saja, begitupun masa pejabat sementara yang bertugas (pjs) didaerah itu juga diuundur.
“Jadi intinya ini sudah final dan semua harus dijalankan sebagaimana mestinya, semua pihak harus ikhlas terima. Kan, kita negara hukum tidak boleh kehendak sendiri-sendiri tapi sesuai dengan aturan yang ada. Menurut aturan ini sudah final dan mengikat tapi baik untuk dijadikan pelajaran kedepan termasuk oleh MK”, ujar Jimly.
Jimly juga menambahkan sebetulnya di antara putusan MK itu banyak yang berhubungan dengan masalah-masalah yang seharusnya sudah selesai ketika masih di Bawaslu.
Bawaslu dibentuk bukan hanya sebagai pengawas yang bersikap aktif tapi juga sebagai pengadilan jikalau ada perselisihan mengenai proses administrasi pemilu. Maka perselisihan itu harus diselesaikan di Bawaslu. Jika tidak puas juga puncak penanganannya berada di Pengadilan Tinggi TUN.
Seharusnya perselisihan sudah selesai di tahap sebelumnya, sehingga MK tidak perlu ikut campur menilai hal-hal yang bersifat teknis administratif yang harus sudah selesai diproses pemilu.
MK hanya mengadili hasil. Di UUD tentang hasil pemilu bukan tentang proses, tapi banyak kasus-kasus di MK itu yang berhubungan dengan proses bukan tentang hasil yang intinya mengenai kursi yang sah diperoleh oleh siapa dan mengenai suara siapa yang menang siapa yang kalah. Tapi akhirnya siapa yang berhak untuk kursi, maka hal itu yang menetapkan adalah MK.
Idealnya, MK tidak usah lagi menilai apakah calon didiskualifikasi atau tidak karena itu sudah selesai di tahap sebelumnya. Cuma karena Bawaslu tidak berfungsi dengan efektif, timbullah masalah-masalah yang dibawa ke MK.
Jadi memang benar juga kalau hasil itu dipengaruhi oleh proses, kalau prosesnya tidak benar, maka hasilnya juga tidak benar. Semua ini harus menjadi evaluasi terutama oleh penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu harus memfungsikan dirinyal ebih efektif kedepan.
Begitu juga peserta pemilu. Kalau mau menyelesaikan masalah, selesaikan sesuai dengan tahapannya. Jadi kalau mengenai proses, keabsahan calon itu ditahap sebelum pemilu. Kalau sudah selesai, seharusnya itu tidak bisa lagi. Tapi ini juga harus dijadikan pelajaran juga.
MK sendiri harus belajar menjaga diri jangan sampai semua urusan proses dinilai. Yang tidak terlalu penting sebaiknya jangan diurusi. Kalau misalnya ada persyaratan tidak dipenuhi tapi disahkan oleh KPU, dan Bawaslu tidak sempat atau tidak melakukan apa-apa maka para pihak mempersoalkan ketidak sahannya.
"Biasanya lawan politik yang menjadikan masalah. Semua yang kalah menjadikan black campaign. MK harus pilih-pilih masalah yang ditangani supaya tidak kerepotan sendiri. MK hanya tangani hasil bukan proses, jadi tentang angka dan kursi. Semua lembaga harus tunduk pada kewenangan masing-masing”, ujar Jimly di Jakarta, Selasa (4/3).
MK telah memutuskan 40 perkara sengketa hasil pilkada serentak 2024. Sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) tahun 2024 telah dilaksanakan pada 24 Februari 2025.
Dari 40 perkara yang ditangani oleh MK ada 26 perkara dikabulkan, 9 perkara ditolak, dan 5 perkara tidak diterima. MK juga memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah daerah. (Z-1)
PENETAPAN hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Minggu (28/7)
Perludem menilai penyelenggara pemilu harus mengantisipasi potensi kerawanan di daerah jelang kampanye Pilkada Serentak 2024 yang dimulai pada Rabu (25/9) mendatang.
Putusan dijadwalkan paling akhir dibacakan pada Maret 2025. Setelah itu, KPU dapat menetapkan pasangan calon terpilih maksimal lima hari setelah menerima salinan penetapan dari MK.
Belum terunggahnya dokumen tersebut juga menyebabkan Perludem belum bisa melakukan pemetaan terkait potensi konflik kepentingan pada sidang PHP-kada ke depan.
pilkada di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat berjalan tanpa adanya gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pelantikan perlu digelar setelah semua tahapan selesai, termasuk proses PHPU itu.
Penurunan kepercayaan publik itu merupakan dampak dari putusan kontroversial terkait usia Capres - Cawapres untuk Pemilihan Presiden
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPP PHRI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah naiknya tarif pajak hiburan hingga 75%.
Materi judicial review itu berhubungan dengan desain keserentakan Pilkada Serentak 2024 yang dianggap bermasalah dan melanggar konstitusi.
Permohonan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan presiden (pilpres) telah dilayangkan pada 24 Mei lalu, yang memang menjadi tenggat akhir pengajuan permohonan.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti merdeka dari intervensi politik dan merdeka untuk menegakkan keadilan (freedom from political interference and freedom to do justice).
NEGARA yang dapat dikatakan memiliki pemerintahan konstitusional ialah negara yang pemerintahannya memperhatikan batasan yang ditentukan konstitusi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved