Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
PUSAT Kajian Demokrasi, Konstitusi dan HAM (Pandekha) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengungkapkan hakim yang sering bolos dalam pengambilan putusan dan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) ialah Anwar Usman. Hal itu berdasarkan kajian soal tren putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di tahun 2023.
Ketua Pandekha Yance Arizona menyebut statistik menunjukkan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang paling sering tidak mengikuti RPH pengambilan putusan.
Kemudian, Putusan MK yang mengubah syarat batas minimal calon presiden dan wakil presiden (Perkara No. 90/PUU-XXI/2023) telah menjadi skandal yang berujung pada pembentukan Majelis Kehormatan MK yang mencopot Anwar Usman dari posisi Ketua MK.
Baca juga: 2023 Tahun Penuh Ketidakpastian Hukum Pemilu
“MKMK membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran dalam putusan yang memberikan keuntungan kepada Gibran Rakabuming Raka yang sekaligus merupakan keponakan dari Ketua MK Anwar Usman,” ungkapnya.
Yance membeberkan kajiannya di mana tahun 2023 menjadi tahun independensi MK jatuh ke titik nadir karena skandal Putusan Batas Usia Capres. Kerentanan seperti ini, kata Yance, sudah dapat diprediksi karena ada tiga faktor utama yang mempengaruhi independensi MK.
Baca juga: OJK Sambut Baik Keputusan MK soal Revisi Aturan Penyidikan Sektor Jasa Keuangan
Yang pertama, terkait dengan desain kelembagaan MK yang rapuh. Pengaturan mengenai MK di dalam UUD 1945 sangat terbatas sehingga kelembagaan MK bergantung pada undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden.
“Sampai hari ini DPR dan Presiden masih hendak mengotak-atik UU MK untuk mempengaruhi independensi MK dan hakim konstitusi,” ujarnya.
Kedua, faktor eksternal terkait dengan semakin intensifnya penggunaan MK sebagai bagian dari strategi politik. Seperti yang pernah dicoba untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup, pengubahan syarat batas usia minimal dan maksimal, ketentuan presidential threshold dan perkara politik lainnya.
Kondisi ini, lanjut Yance, membuat MK semakin banyak menangani perkara politik dan tidak terhindarkan juga mengalami politisasi yudisial.
Ketiga, faktor internal terkait dengan posisi dan komposisi hakim konstitusi yang ada di dalam MK.
Kasus Anwar Usman, demikian juga dengan kasus pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto yang diganti dengan hakim M. Guntur Hamzah menunjukkan bahwa pihak luar menghendaki adanya hakim loyalis di MK yang akan meloloskan kepentingan Pemerintah dan DPR ketika ditangani oleh MK.
Persoalan internal ini mungkin sedikit akan bergeser karena ada perubahan dua hakim konstitusi yang masuk menggantikan hakim yang lama.
“Namun hal ini belum cukup untuk mengubah MK. Diperlukan sikap patriotisme konstitusional yang mengutamakan prinsip-prinsip negara hukum dan pembangunan institusi demokrasi yang melampui jebakan kepentingan-kepentingan politik yang terbatas,” terangnya.
Terakhir, pembentukan Majelis Kehotaman MK yang bersifat permanen memberikan satu harapan baru untuk mengontrol perilaku hakim konstitusi agar peristiwa yang terjadi seperti dalam perkara MKMK terharap Hakim Konstitusi Anwar Usman tidak terjadi dikemudian hari.
Jika permasalahan serupa terulang, Yance menilai kini sudah ada lembaga khusus yang menjadi sarana bagi publik untuk bisa mengontrol perilaku hakim konstitusi. “Sekali saja, perubahan ini belum tentu akan mengubah banyak hal karena independensi MK bukan saja tercipta karena kondisi internal MK, tetapi juga semakin intensnya proses politisasi yudisial yang berasal dari luar,” papar Yance.
“Pada titik itu, partisipasi publik menjadi sangat penting untuk mengawal independensi MK kedepan. Apalagi dihadapan dimana MK akan menyelesaikan sengketa pilpres pada tahun 2024,” tandasnya.
(Z-3)
Menurut Perludem, putusan MK sudah tepat karena sesuai dengan konsep pemilu yang luber dan jurdil, dan disertai dengan penguatan nilai kedaulatan rakyat.
PARTAI politik di DPR begitu reaktif dalam merespons Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2025.
KETUA Badan Legislasi DPP PKS Zainudin Paru mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang menahan diri dengan menolak putusan terkait ketentuan persyaratan pendidikan capres-cawapres,
Jimly Asshiddiqie meminta para pejabat dapat membiasakan diri untuk menghormati putusan pengadilan.
Apabila ada sesuatu isu tertentu yang diperjuangkan oleh pengurus atau aktivis, kemudian gagasannya tidak masuk dalam RUU atau dalam UU langsung disebut partisipasi publiknya tidak ada.
Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 tersebut.
PSU Pilkada 2024 di sejumlah daerah berpotensi terjadi lagi. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menerima sejumlah permohonan sengketa hasil PSU Pilkada 2024 jilid I
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU MK tersebut tidak menentukan secara jelas mengenai jumlah komposisi hakim konstitusi perempuan dan laki-laki.
EMPAT mahasiswi FH UII menggugat Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang pengangkatan/pengisian hakim konstitusi karena tidak mengatur kuota perempuan.
Usai sidang dismissal perkara Perselisihan Hasil Pilkada (PHP-kada), MK akan menggelar sidang pemeriksaan lanjutan terhadap tahap pembuktian perkara. Rencana putusan selesai 24 Februari
MKMK akan segera menindak lanjuti laporan atas dugaan pelanggaran etik sembilan hakim konstitusi dalam proses persidangan sengketa pilkada
Adetia Sulius Putra meminta kepada MK untuk memaknai dirinya sendiri sebagai pihak yang tidak memiliki kewenangan dalam memutuskan perkara
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved