Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Saldi Isra Mengaku Ada Hakim yang Ingin Putusan Batas Usia Capres-Cawapres Lekas Diputus

Indriyani Astuti
16/10/2023 19:36
Saldi Isra Mengaku Ada Hakim yang Ingin Putusan Batas Usia Capres-Cawapres Lekas Diputus
Hakim konstitusi Saldi Isra(MI/Susanto)

HAKIM Konstitusi Saldi Isra menyatakan keheranannya atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan sebagian gugatan soal batas usia minimal calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) yang diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang No.17/2017 tentang Pemilu. Pasal itu mengatur batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun. Saldi salah satu hakim yang menolak putusan perkara itu.

"Saya menolak permohonan a quo, dan seharusnya Mahkamah pun menolak permohonan a quo," ujar Saldi saat membacakan dissenting opinion atau pendapat berbeda pada sidang pembacaan putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 di ruang sidang MKRI, Jakarta, Senin (16/10).

MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q inkonstitusional bersyarat sehingga orang yang berusia di bawah 40 tahun bisa dicalonkan menjadi capres dan cawapres apabila pernah atau sedang menjabat sebagai pejabat publik yang pernah dipilih berdasarkan pemilu. Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, Saldi menyatakan Mahkamah mengubah pendiriannya dari awalnya menolak menjadi menerima sebagian perkara itu.

Baca juga: Anies Tanggapi Keputusan MK, Hormati dan Fokus pada Pendaftaran 19 Esok

"Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," papar Saldi.

Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023), terang Saldi, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

Baca juga: Gibran Bisa Maju, Ini Pertimbangan MK Kabulkan Sebagian Gugatan Batas Usia Minimal Capres-Cawapres

" Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan Putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah yang wajar Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat Sebelumnya," papar Saldi.

Saldi menjelaskan ketika Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah. Anwar Usman tidak ikut memutus perkara-perkara itu.

"Tercatat, RPH tanggal 19 September 2023 tersebut tidak dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman," ungkap Saldi.

Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion) sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 109 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion).

Namun, dalam RPH berikutnya, masih berkenaan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, ungkap Saldi, pembahasan dan pengambilan putusan permohonan gelombang kedua dengan adanya perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman ikut memutus dalam perkara tersebut dan turut mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan. RPH dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, Beberapa Hakim Konstitusi yang dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (opened legal policy), tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023," terang Saldi.

Ketika RPH, sambung Saldi, ada perdebatan terkait masalah amar putusan MK. Di antara hakim konstitusi, ujarnya, mengusulkan agar pembahasan ditunda dan tidak perlu terburu-buru serta perlu dimatangkan kembali hingga lima Hakim yang berada dalam gerbong "mengabulkan sebagian", benar-benar yakin dengan pilihan amar putusannya.

Sekalipun RPH ditunda dan berlangsung lebih lama, bagi Hakim yang mengusulkan ditunda, hal tersebut tidak akan menunda dan mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Namun demikian, Saldi mengungkapkan di antara sebagian hakim yang tergabung dalam gerbong mengabulkan sebagian tersebut, seperti tengah berpacu dengan tahapan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

"Sehingga yang bersangkutan terus mendorong dan terkesan terlalu bernafsu untuk cepat- cepat memutus perkara a quo," tukas Saldi. (Ind/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya