Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
ANGGOTA Komisi III DPR RI Didik Mukrianto meminta pemerintah segera menerbitkan aturan turunan pelaksana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Aturan teknis UU TPKS disebut akan menjadi jaminan kepastian hukum dalam pengusutan kasus-kasus kekerasan seksual yang masih marak terjadi.
“Kasus kekerasan seksual cenderung meningkat dan menjadi sebuah keprihatinan. Saat ini kita berpotensi menghadapi situasi darurat kekerasan seksual, sehingga harus ada gerak cepat dari pemerintah,” kata Didik Mukrianto dalam keterangan tertulis, Selasa (6/6).
Baca juga: 202 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Sekolah, Data Januari-Mei 2023
Politikus Fraksi Partai Demokrat ini mengatakan implementasi UU TPKS belum efektif lantaran belum ada aturan teknisnya.
Didik menyebut, kasus kekerasan seksual di Indonesia bisa menjadi fenomena gunung es dan sumber permasalahan yang lebih besar jika tidak segera tertangani dengan baik.
“Untuk itu saya berharap agar pemerintah segera memprioritaskan penyelesaian aturan teknis UU TPKS ini agar penegakan hukumnya bisa masksimal dan optimal,” tuturnya.
Menurut Didik, substansi dalam UU TPKS cukup komprehensif dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual karena sudah mencakup berbagai pengaturan.
Baca juga: Dokter Ungkap Kondisi Terkini ABG 15 Tahun yang Diperkosa 10 Orang di Parigi Moutong
“Pengaturan-pengaturan dalam UU TPKS idealnya mampu untuk memberikan perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum terkait dengan berbagai kasus kekerasan seksual,” ujar Didik.
Lewat UU TPKS, penyidik kepolisian secara hukum harus menerima pengaduan perkara kekerasan seksual dalam bentuk apapun.
Namun begitu, penanganan kasus kekerasan seksual belum sepenuhnya dapat bergantung pada regulasi tersebut.
“Padahal dengan UU TPKS, penyidik kepolisian tidak boleh menolak perkara kasus kekerasan seksual atas alasan apapun,” terangnya.
Baca juga: Cegah Kekerasan Seksual, Kemenkumham Diimbau Tingkatkan Sosialisasi UU TPKS
Didik pun menyoroti banyaknya laporan dari pendamping korban kekerasan seksual mengenai penolakan penyidik kepolisian menggunakan UU TPKS meski sebenarnya sudah dapat diterapkan.
Hal ini merujuk pada surat telegram Kapolri nomor ST/1292/VI/RES.1.24/2022 yang meminta semua Kapolda di Indonesia memerintahkan semua institusi kepolisian di semua wilayah untuk menegakkan UU TPKS.
Banyak Penyidik Tolak Gunakan UU TPKS
Pada praktiknya, banyak ditemukan penyidik kepolisian menolak menggunakan UU TPKS dengan berbagai alasan.
Mulai dari menunggu Peraturan Pemerintah (PP)-nya, belum ada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari institusinya, hingga alasan lebih nyaman dengan aturan yang sudah ada sebelumnya.
Legislator dari Dapil Jawa Timur IX ini mengatakan, penegak hukum masih kerap merespons kasus kekerasan seksual tanpa menggunakan paradigma perlindungan korban.
Baca juga: Kasus Gadis 15 Tahun Digagahi 10 Pria di Parigi Moutong Dapat Atensi Kapolri
Oleh karenanya, disampaikan Didik, dibutuhkan penerapan UU TPKS agar ada pengakuan dan jaminan hak-hak korban kekerasan seksual.
Untuk itu, Didik meminta pemerintah dapat menyegerakan penerbitan aturan teknis UU TPKS mengingat sudah semakin banyak kasus kekerasan seksual terjadi.
“Dengan lahirnya aturan teknis, tidak ada alasan lagi dari penegak hukum untuk tidak menerapkan UU TPKS yang berorientasi kepada korban. Kami mendesak pemerintah untuk cepat menerbitkan aturan turunan UU TPKS,” kata Didik.
Berdasarkan laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), terdapat sebanyak 11.016 kasus kekerasan seksual pada tahun 2022.
Baca juga: Implementasi UU PKDRT dan TPKS Dilematis bagi Penegak Hukum
Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588, atau naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4.162 kasus.
Sementara Komisi nasional (Komnas) Perempuan mencatat, kasus kekerasan seksual menjadi yang terbanyak dilaporkan pada tahun 2022. Terdapat 2.228 kasus yang memuat kekerasan seksual atau 65 persen dari total 3.422 kasus kekerasan berbasis gender.
Didik mengingatkan, data-data tersebut belum mencakup kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi tahun ini.
Ditambahkan Didik, penyelesaian kasus pelecehan atau kekerasan seksual di Indonesia memerlukan perhatian yang lebih dari pemerintah dan pihak kepolisian. Terlebih, mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan dan anak.
“Penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan menangkap pelaku. Dan saya optimistis UU TPKS bisa mengakhiri budaya kekerasan dan dapat mewujudkan kesetaraan gender serta zero tolerance terhadap kekerasan seksual,” tutupnya. (RO/S-4)
KEBERHASILAN jajaran Polres Tangsel menangkap S, 45, terduga pelaku pemerkosaan terhadap anak perempuan berusia 10 tahun di Komplek Kejaksaan, Cipayung, Ciputat, Tangsel, menuai apresiasi.
“Jika terbukti benar (adanya pelecehan seksual), kami melihat ini sebagai catatan buruk dalam kontes Miss Universe."
Namun, Kementerian PPPA menekankan bahwa pada dasarnyUU TPKS sudah bisa digunakan. Terkecuali ketentuan pelaksana yang membutuhkan aturan turunan.
Dalam kejadian yang menimpa N ini perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Apapun alasannya, permasalahan sebab akibat menjadi syarat mutlak yang harus dilihat dalam kasus N ini .
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga memandang UGM adalah institusi yang memiliki peran besar dalam isu perempuan dan anak.
SEJAK Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS telah masuk dalam lembaran negara, maka UU ini sudah bisa digunakan dalam menangani kasus kejahatan seksual.
Ajarkan anak cara untuk menolak atau memberikan izin ketika ada bagian tubuhnya yang dilihat atau disentuh orang lain.
Kasus pembunuhan dan pemerkosaan terhadap siswi berusia 13 tahun oleh empat siswa di Sumatra Selatan dipicu karena kecanduan video pornografi.
Masyarakat perlu mengawal kasus ini, sehingga adanya tindakan transparan dalam proses hukum yang saat ini sedang berlangsung.
Unpar Bandung memberikan sanksi tegas kepada dosen luar biasa SM atas dugaan kasus kekerasan seksual.
Sudah dilakukan asesmen awal kepada wali korban (pamannya) sebagai penanganan awal. Hal itu karena korban menceritakan kepada pamannya bahwa mengalami kekerasan seksual dari ayah temannya.
Kasus terbaru kekerasan seksual dialami seorang anak berusia 11 tahun asal Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat dengan tersangka dua orang lanjut usia
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved