Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

PP 29/2025 Jadi Jalan Korban Kekerasan Seksual Dapat Dana Pengobatan

Despian Nurhidayat
01/8/2025 20:14
PP 29/2025 Jadi Jalan Korban Kekerasan Seksual Dapat Dana Pengobatan
Seorang anggota Forum Perempuan Diaspora nusa Tenggara Timur (FPD NTT) membawa atribut aksi untuk menolak kekerasan seksual saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Jakarta, Minggu (23/3/2025).(Antara/ Sulthony Hasanuddin)

DEPUTI Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Pribudiarta Nur, menegaskan bahwa pemerintah sudah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dengan adanya PP itu maka pengobatan korban kekerasan dan kekerasan seksual yang tidak tercover oleh program jaminan kesehatan nasional (JKN), bisa mendapatkan dana bantuan.

 

“Selain itu, Kementerian PPPA juga memiliki Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2023 tentang DAK Non Fisik Bidang PPPA untuk memberi bantuan operasional bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di provinsi dan kab/kota, memang belum seluruh kab/kota dicover,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Jumat (1/8).

 

Lebih lanjut, Pribudiarta juga menambahkan bahwa pihaknya saat ini juga sedang menyusun rencana Instruksi Presiden Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak sebagai upaya terobosan untuk mencari solusi bottle necking masalah kekerasan ini.

 

Daftar Kelemahan PP 29/2025

Di lain pihak, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti beberapa hal krusial yang terkait pengesahan PP 29/2025 tersebut, di antaranya PP ini belum dapat menjawab permasalahan di lapangan, khususnya peran penting aparat penegak hukum dalam pelaksanaan restitusi.

 

Peraturan ini seharusnya dapat mempertegas koordinasi antara LPSK dengan Kejaksaan untuk penghitungan aset atau harta kekayaan pelaku, sebab kemampuan membayar pelaku hingga potensi sita lelang aset krusial menjamin efektifnya pelaksanaan restitusi.

 

Selain itu, PP ini belum secara lengkap menjabarkan mekanisme eksekusi restitusi atau pembayaran ganti kerugian. Selama ini korban atau ahli warislah yang harus aktif memberitahukan kepada pengadilan apa bila restitusi tidak kunjung mereka terima.

 

Padahal, semestinya, jaksa selaku eksekutor menjadi pihak yang bertanggung jawab memastikan pembayaran restitusi segera dilaksanakan. Adapun jangka waktu sita lelang jaminan restitusi juga tidak diatur negara sehingga berpotensi mengakibatkan proses yang berlarut-larut.

 

Hal lainnya yang belum jelas adalah sumber pendanaan dana bantuan korban dari anggaran negara. PP ini tidak menjelaskan sumber anggaran negara yang dimaksud dalam UU TPKS maupun mekanisme alokasinya. Padahal, kejelasan pendanaan negara penting untuk memastikan dukungan finansial yang stabil.

 

Sebagai salah satu opsi pendanaan dari anggaran negara, penelitian ICJR berjudul “Kajian Peluang Kontribusi Negara terhadap Pendanaan Dana Bantuan Korban: Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bagi Dana Bantuan Korban” merekomendasikan agar negara menetapkan kebijakan alokasi anggaran dengan persentase tertentu dari PNBP Penegakan Hukum untuk pendanaan DBK (dana bantuan korban).

 

Terlepas dari alternatif sumber anggaran negara tersebut, pada pokoknya negara harus jelas mengatur asal anggaran dan besaran dana yang akan dialokasikan. Sebab, pendanaan merupakan aspek krusial bagi pelaksanaan DBK ke depan.

 

Waktu Pengajuan Dana Pemulihan Belum Diatur

Peruntukan dana bantuan korban untuk pemulihan juga dikatakan masih belum jelas. Awalnya, dana ini ditujukan hanya sebagai kompensasi terhadap restitusi kurang bayar (UU TPKS). Namun, PP ini memperluas cakupan dengan menambahkan peruntukan baru, yakni untuk pendanaan pemulihan. Perluasan ini membuka mekanisme baru bagi korban untuk memperoleh pemulihan berkelanjutan di luar hak restitusi.

 

Meskipun demikian, PP ini tidak menjelaskan kapan korban dapat mengajukan permohonan pendanaan pemulihan kepada LPSK. Pendanaan pemulihan melalui peraturan ini hanya dapat diberikan setelah mekanisme restitusi dijalani, tetapi tidak ada batasan waktu yang tegas hingga kapan korban dapat mengakses pendanaan ini.

 

Detail terkait jenis pemulihan yang dapat didanai lewat pendanaan pemulihan juga tidak diatur sama sekali. Perlu ada kejelasan sejauh mana dana pemulihan ini dapat digunakan, apakah terhadap jenis pemulihan sebagaimana dalam UU TPKS atau PP 30/2025 tentang Pencegahan TPKS Serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban TPKS, atau justru lebih luas.

 

PP ini juga dikatakan belum menjawab kebutuhan pemulihan korban yang membutuhkan penanganan segera. Dana kompensasi hanya dapat diakses melalui proses restitusi yang panjang dan memakan waktu lama, serta pendanaan pemulihan setelah mekanisme restitusi dijalani. Padahal, hingga kini korban masih harus mengeluarkan biaya sendiri untuk pemulihannya.

 

Seharusnya, selain dua jalur di atas, dana bantuan korban diharapkan juga bisa diakses sejak awal tanpa menunggu proses restitusi. Skema ini diharapkan dapat membiayai kebutuhan pemulihan mendesak yang tidak tercakup dalam program layanan K/L. Namun, mekanisme ini tetap tidak menghapus tanggung jawab pelaku karena pada akhirnya pelaku tetap diharuskan mengganti biaya yang telah ditanggung oleh negara. (M-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Bintang Krisanti
Berita Lainnya