PENGADILAN Negeri (PN) Jakarta Pusat dinilai berlebihan dengan menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun, 4 bulan, dan 7 hari.
Melalui putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, majelis hakim sekaligus menyatakan Partai Prima sebagai partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh KPU dan menghukum KPU membayar ganti sebesar Rp500 juta ke Partai Prima.
"Saya kira, putusan PN Jakarta Pusat ini berlebihan. Bahkan melebihi kewenangan pengadilan," ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia dan Koordinator Komunitas Pemilu Bersih Jeirry Sumampow melalui keterangan tertulis, Kamis (2/3).
Jeirry juga mengatakan bahwa substansi putusan PN Jakarta Pusat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengatur bahwa pemilu digelar lima tahun sekali serta beleid masa jabatan presiden yang juga lima tahun.
"Sehingga, mestinya tak ada kewenangan PN Jakarta Pusat untuk melakukan penundaan pemilu," katanya.
Baca juga: PN tidak Berwenang Tunda Pemilu
Pihaknya berpendapat bahwa putusan yang diketok oleh Hakim Ketua T Oyong dengan H Bakri dan Dominggus Silaban selaku hakim anggota akan mengacaukan tahapan pemilu yang sudah berjalan. Oleh karena itu, Jeirry setuju jika KPU menyatakan banding.
Ia juga mengatakan, jika KPU memang dinilai melakukan kesalahan atau pelanggaran atas proses verifikasi Partai Prima, pengadilan negeri cukup memulihkan hak partai tersebut dalam tahapan verifikasi saja. Atau, lanjutnya, dapat juga KPU yang diberikan sanksinya.
"Tidak tepat jika masalahnya ada di tahapan verifikasi, tapi semua tahapan harus ditunda. Bisa repot kita jika banyak putusan seperti ini," papar Jeirry.
"Di samping tak ada kepastian hukum, juga bisa jadi ruang politik untuk menciptakan ketidakstabilan demokrasi," tandasnya.
Dihubungi terpisah, ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, jalur yang dapat ditempuh sebuah partai politik terkait pelanggaran administrasi dalam pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu adalah melalui Bawaslu.
Ia pun menilai ada keanehan atas upaya penundaan pemilu lewat gugatan perdata lewat pengadilan negeri. "Komisi Yudisial mestinya proaktif untuk memeriksa majelis pada perkara ini."
"Sebab ini putusan yang jelas menabrak konstitusi dan juga sistem penegakan hukum pemilu dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu," pungkas Titi. (OL-17)