Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian formil Undang-Undang No.19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh pimpinan KPK periode sebelumnya antara lain Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, Saut Situmorang serta 11 pemohon lainnya.
"Menolak permohonan provisi para pemohon, dalam menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman selaku ketua majelis pleno dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/4).
Menurut pertimbangan Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat mahkamah berpendapat rancangan undang-undang tersebut telah terdaftar dalam program legislasi nasional (prolegnas) dan berulang kali terdaftar dalam prolegnas, sedangkan terkait lama atau tidaknya waktu yang diperlukan dalam pembentukan perundang-undangan, sebagaimana didalilkan oleh pemohon berkaitan erat dengan substansi dari RUU tersebut.
"Tidak dapat dipersamakan tingkat kesulitan untuk semua rancangan UU. Lama atau tidaknya proses harmonisasi tidak berkaitan dengan dalil para pemohon yang mensinyalir adanya penyelundupan dalam proses pembuatan RUU untuk disetujui," ujarnya.
Selain itu menurut Mahkamah, proses pengusulan UU KPK telah dilakukan jauh sebelum prolegnas 2015-2019 apalagi tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batas waktu berapa lama suatu RUU diselesaikan. Sehingga Mahkamah menganggap salil para pemohon yang pada pokoknya menyatakan UU 19/2019 tidak melalui prolegnas dan terjadi penyelundupan hukum, tidak beralasan menurut hukum.
Baca juga: Novel Baswedan Tak Lolos ASN, Sekjen KPK: Infonya Masih Tersegel
Adapun terhadap dalil mengenai pembahasan UU KPK tidak terbuka dan KPK tidak dilibatkan dalam pembahasan, sambung Arief, Mahkamah berpendapat azas ketebukaan berkaitan dengan partisipasi dalam pembentukan UU. Berdasarkan bukti lampiran yang diajukan oleh DPR, jelasnya, terdapat kegiatan yang dilaksanakan berkaitan RUU KPK antara lain rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan sejumlah pihak dan pimpinan KPK.
Pada putusan itu, Satu orang Hakim Konstitusi Wahiduddins Adams memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal permohonan pengujian formil UU 19/2019. Perbedaan pendapat itu berlaku dalam registrasi perkara lainnya terkait pengujian UU a quo terhadap UUD 1945 yakni perkara nomor 59,62, dan 70/PUU-XVII/2019.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjelaskan beberapa perubahan ketentuan dalam UU KPK telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental. Perubahan itu, imbuh dia, sangat nampak dilakukan dalam jangka waktu singkat. Pembahasan RUU KPK, menurutnya dilakukan hanya beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti DPR 2014-2019 dan kemudian disahkan menjadi UU.
"Suatu pembentukan UU dalam jangka waktu relatif singkat dan dilakukan pada momentum spesifik mengundang pertanyaan besar. Singkatnya waktu pembentukan UU a quo jelas berpengaruh secara signifikan atas minimnya partisipasi masyarakat,"
Atas alasan itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menilai partisipasi publik yang rendah bahkan mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan UU a quo. Sehingga pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan UU atau perppu yang tidak memenuhi ketentuan dalam UUD 1945.
Baca juga: 51 Guru Besar dan Akademisi Minta MK Batalkan UU KPK Baru
"Saya meyakini pendapat beberapa indikator spesifik yang menyebabkan UU KPK memiliki persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang serius," ucap dia.
Ia pun berpendapat setidaknya terdapat 3 opsi koridor untuk memutus perkara pengujian UU KPK. Pertama mempertahankan UU a quo, kedua Mahkamah memperbaiki beberapa materi yang terdapat dalam UU a quo, dengan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon atau tiga kembali ke UU No.30/2002 tentang KPK sebelum perubahan dan menyatakan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945
"Saya berijtihad untuk menempuh koridor UU KPK untuk dinyatakan inskonstitusionalitas agar pembentuk UU dapat mengulang proses pembentuk UU KPK dengan cara yang lebih baik," ucapnya. (OL-4)
Penurunan kepercayaan publik itu merupakan dampak dari putusan kontroversial terkait usia Capres - Cawapres untuk Pemilihan Presiden
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPP PHRI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah naiknya tarif pajak hiburan hingga 75%.
Materi judicial review itu berhubungan dengan desain keserentakan Pilkada Serentak 2024 yang dianggap bermasalah dan melanggar konstitusi.
Permohonan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan presiden (pilpres) telah dilayangkan pada 24 Mei lalu, yang memang menjadi tenggat akhir pengajuan permohonan.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti merdeka dari intervensi politik dan merdeka untuk menegakkan keadilan (freedom from political interference and freedom to do justice).
NEGARA yang dapat dikatakan memiliki pemerintahan konstitusional ialah negara yang pemerintahannya memperhatikan batasan yang ditentukan konstitusi.
Peserta demonstrasi tersebut merupakan perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia
Sebelumnya, upaya massa HMI untuk menuju Gedung DPR-MPR RI gagal karena terhalang oleh barikade dari pihak kepolisian di Jalan Gatot Subroto menuju Gedung DPR-MPR RI.
Pengalihan lalu lintas dilakukan sehubungan adanya aksi unjuk rasa di depan gedung MPR/DPR dan sekitarnya.
Selain itu, layanan bus Amari (Angkutan Malam Hari) juga diberhentikan operasinya malam ini
Sebelumnya Akbar sempat dikabarkan hilang seusai kerusuhan aksi di DPR pada Rabu (25/9). Belakangan ia ditemukan dalam kondisi luka-luka dan tak sadarkan diri.
Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah didengungkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved