Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
SISTEM pemilu serentak lima kotak kembali diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan pengujian tersebut diajukan oleh oleh mantan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK) yang pernah bertugas pada Pemilu 2019.
Keserentakan pemilu diatur dalam Pasal 167 Ayat (3) dan 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Para pemohon yakni 1 orang PPS dari Depok, 1 PPK dari Depok, 1 KPPS dari Kabupaten Bantul, dan 1 orang PPK dari Kabupaten Sleman.
Kuasa Hukum Pemohon Heroik Pratama menjelaskan pilihan pembentuk undang-undang yang tidak melakukan revisi Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu, dengan tetap mempertahankan format keserentakkan pemilu lima kotak mengabaikan beban kerja penyelenggara, khususnya KPPS, PPS, dan PPK.
Oleh karenanya, permohonan yang dimohokan ke MK, didasarkan karena penyelenggara pemilu, khususnya KPPS, PPS, dan PPK menanggung beban luar biasa berat dengan sistem keserentakkan pemilu lima kotak.
Disampaikan Heroik, pengalaman Pemilu 2019 dengan lima kotak surat suara yakni pemilihan presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan secara serentak, membuat banyak penyelenggara pemilu kelelahan hingga jatuh sakit, bahkan 800 orang lebih meninggal dunia.
Baca juga: KPU RI: Pencalonan Jadi Problematik dalam Pilkada
"Kondisi saat ini, pilihan pembentuk undang-undang untuk tetap menggunakan format keserentakan pemilu lima kotak, dianggap tidak mematuhi prasyarat yang sudah diperintahkan MK di dalam Putusan No 55/PUU-XVII/2019," ujar Heroik, melalui siaran pers yang diterima Media Indonesia, Selasa (27/4).
MK, terangnya, dalam putusan tersebut memerintahkan pembuat UU, untuk memilih format keserentakkan pemilu. Selain itu, imbuhnya, pembentuk undang-undang juga melibatkan partisipasi banyak kalangan untuk mendapatkan masukan atas pilihan keserentakkan pemilu. Termasuk, ujar dia, menghitung implikasi teknis beban penyelenggara pemilu atas pilihan format keserentakkan pemilu.
"Menurut Para Pemohon, pembentuk undang-undang belum melakukan beberapa prasyarat yang diperintahkan oleh MK di dalam menentukan sistem keserentakkan pemilu," papar Heroik.
Kuasa Hukum Pemohon lainnya Fadli Ramadhanil mengatakan permohonan tersebut telah didaftarkan ke MK, Selasa (27/4).
Dalam permohonannya, ujar Fadli, para pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan bahwa keserentakkan pemilu tidak menggabungkan pemilu Presiden, DPR, dan DPD dengan Pemilu DPRD Provinsi dan DPRR Kabupaten/Kota.
Sebab menurut pemohon, menggabungkan empat pemilu legislatif sekaligus, menjadi salah satu penyebab rumit dan beratnya beban penyelenggara pemilu.
Terkait format keserentakan seperti apa yang akan dipilih, dipersilahkan pembentuk undang-undang memilih, sepanjang tidak menyerentakan Pemilu Serentak Nasional (Presiden, DPR, dan DPD), bersamaan dengan Pemilu DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
"Kita tidak mau kejadian KPPS kelelahan dan bahkan sampai meninggal dunia terjadi lagi," tukas Fadli.(OL-4)
Partai NasDem menilai Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencuri kedaulatan rakyat karena memutuskan pemilu nasional dan daerah atau lokal.
MK juga dianggap tidak menggunakan metode moral dalam menginterpretasikan hukum serta konstitusi.
AHY menyebut keputusan MK itu akan berdampak pada seluruh partai politik, termasuk Partai Demokrat.
Pembentuk undang-undang, terutama DPR, seyogianya banyak mendengar pandangan lembaga seperti Perludem, juga banyak belajar dari putusan-putusan MK.
MELALUI Putusan No 135/PUU-XXII/2024, MK akhirnya memutuskan desain keserentakan pemilu dengan memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Titi meminta kepada DPR untuk tidak membenturkan antara Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 dengan putusan konstitusionalitas pemilu serentak nasional dan daerah.
WAKIL Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi menyoroti kompleksitas Pemilu serentak atau yang berlangsung bersamaan, terutama dalam konteks pemilihan legislatif dan presiden
Pengecekan berbagai jenis peralatan keamanan dan alat material khusus serta kendaraan dinas diharapkan bisa mengantisipasi terjadinya konflik saat tahapan pemilu serentak berlangsung.
KEPOLISIAN Daerah (Polda) Papua meminta bantuan 10 satuan setingkat kompi (SSK) untuk mengamankan Pemilu 2024 di empat provinsi.
Riyanta berharap, sosialisasi ini bertujuan untuk mengajak masyarakat, yang sudah memiliki hak pilihnya di tahun 2024, untuk memanfaatkan sebaik-baiknya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved