Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

KPU RI: Pencalonan Jadi Problematik dalam Pilkada

Indriyani Astuti
26/4/2021 21:50
KPU RI: Pencalonan Jadi Problematik dalam Pilkada
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari saat berbicara dalam webinar terkait pemilu, Senin (26/4).(ZOOM/YOUTUBE)

INDONESIA akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional pada 2024 sepanjang Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu tidak direvisi. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari menyoroti mekanisme pencalonan yang selalu problematis pada setiap pilkada.

Ia menyebut mekanisme pencalonan kepala daerah yang diusung partai politik terlalu sentralistik. "Pada Undang-Undang No 10/2018 tentang Pilkada, pencalonan sekarang ini sangat sentralistik, karena UU Pilkada mengatur dalam pencalonan harus ada dokumen surat keputusan dewan pengurus pusat (DPP) partai politik tentang persetujuan nama-nama calon," ujar Hasyim dalam diskusi webinar betajuk Isu-Isu Krusial dalam Pemilu dan Apa Manfaatnya untuk Rakyat yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Negeri Pamulang, kemarin.

Adanya ketentuan itu, terang Hasyim, membuat pengurus partai politik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota yang berwenang mendaftarkan calon wajib mendaftarkan nama-nama yang mendapat persetujuan dari DPP partai politik. Mereka tidak leluasa mendaftarkan calon dari daerah.

"Artinya partai politik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota dilarang mencalonkan nama-nama di luar yang disetujui atau berbeda DPP, bahkan disiapkan sanksi pidana. Kalau pengurus partai politik di daerah mengusulkan nama-nama yang tidak disetujui, DPP dapat mengambilalih mekanisme pencalonan. Ini sangat sentralistik," paparnya.

Menurutnya, mekanisme itu justru bertolak belakang dengan formulasi elektoral dalam pilkada yang menggunakan mekanisme pemilihan calon dengan suara terbanyak yang dinyatakan menang. Seharusnya, imbuh Hasyim, pencalonan terdesentralisasi atau daerah sudah cukup mewakili partai politik dalam mencalonkan kepala daerah. 

"Karena yang dipilih calon, bukan partai politiknya. Maka yang harus disiapkan suara-suara dari daerah bukan pusat," cetus dia.

Ia juga menyoroti maraknya calon-calon yang berasal dari dinasti politik. Hal tersebut terjadi pada Pilkada 2020. Menurut Hasyim, Indonesia berbentuk negara republik, sehingga kedaulatan sesungguhnya ada di tangan rakyat dalam pengisian jabatan kenegaraan dipilih langsung melalui rakyat. Sedangkan aspek-aspek berkaitan dengan pengisian jabatan ciri monarki seperti model pewarisan harus dihilangkan.

"Siapa (kepala daerah) punya anak lalu pensiun dan masa jabatan tidak bisa diteruskan lagi, kemudian anaknya meneruskan. Ini bentuk-bentuk monarkhi baru yang bertentangan dengan republik," tukasnya.

Senada, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Ni'matul Huda mengatakan ada kekosongan hukum mengenai larangan calon dari dinasti politik mencalonkan diri, pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33 Tahun 2015 terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang No 8/2015 yang kemudian diubah menjadi UU No 10/2016 tentang Pilkada. Selanjutnya, hal ini menurutnya perlu diatur.

MK melegalkan pencalonan keluarga petahana dalam pemilihan kepala daerah. Mahkamah berpendapat Pasal 7 huruf r UU Pilkada yang sebelumnya melarang hal tersebut, bertentangan dengan konstitusi. Pasal itu diangggap melanggar hak konstitusi warga negara untuk memperoleh hak yang sama dalam pemerintahan.

"Ada kekosongan pascaputusan MK tentang dinasti politik 33/2015, karena Pasal 7 huruf r UU 8/2015 larangan dinasti politik sudah gugur dan belum diatur ulang sehingga tidak ada larangan untuk dinasti politik," ujar dia. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya