Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
PAKAR hukum tata negara, Margarito Kamis meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) berani keluar dari kungkungan atau jeratan pasal 158 Undang-undang No.10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
Persoalan tersebut , menurut Margarito, khususnya mengenai ambang batas 0,5% hingga 2% untuk pengajuan gugatan perselisihan hasil pemilu kepala dearah.
Ia mengatakan bahwa hal tersebut perlu dilakukan agar Mahkamah Konstitusi atau M K tidak dipersepsikan sebagai benteng kecurangan pelaksanaan pilkada.
“Sepanjang pengamatan saya, MK, selama ini belum pernah mengambil langkah mengesampingkan Pasal 158 tersebut, padahal aspek ini sangat penting,” ujar Margarito pada keterangan pers, Senin (8/2).
Menurut Margarito, karena MK tak pernah mengesampingkan Pasal 158 tersebut, maka pasal ini menjadi lisensi bagi orang-orang yang mempunyai niat jahat untuk melakukan tindakan kecurangan dalam mengikuti Pilkada.
Padahal pasal ini dapat dikatakan sebagai extreme in justice yang dalam positif tulen sekalipun, pasal model seperti ini ditolak. “Oleh karena itu sekali lagi saya tegaskan, MK harus berani keluar dari belenggu Pasal 158 UU No.10/2016,” katanya.
Bertentangan dengan demokrasi
Pasal mengenai syarat pengajuan gugatan sengketa hasil pilkda ke MK itu, oleh banyak pihak dinilai bisa adil dan sebaliknya juga bisa tidak adil.
Dengan tegas Margarito menilai Pasal 158 UU N0.10/2016 itu tidak adil. “Pasal ini menurut saya bertentangan dengan hakekat demokrasi, sebab bagaimana bisa hak diperoleh dengan cara yang tidak sah,” ujarnya.
Karena itu tandas Margarito, MK harus tahu betul fakta persidangan, bagaimana calon-calon menggunakan APBD, menggerakkan aparatur birokrasi dari kabupaten hingga desa.
“Begitu juga bagaimana kandidat menggunakan anggaran yang sudah diputuskan dalam paripurna DPRD untuk digunakan pada tahun 2021, tetapi anggaran tersebut malah dipakai dalam tahun 2020, seperti kasus Kota Tidore,” papar Margarito.
Hal-hal seperti ini, lanjut Margarito, harus dipertimbangkan, dan MK harus berani keluar dari jerat Pasal 158 itu.
“Jika MK tetap menggunakan dasar Pasal 158 untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada, sama dengan MK membenarkan cara-cara yang salah untuk mendapatkan hak menjadi pejabat (terpilih sebagai kepala daerah).
Bagi Margarito, hak hanya bisa diperoleh dengan cara dan persidangan yang benar. Malah prosedur memperoleh Hak itu lebih penting daripada Hak itu sendiri.
“Apalagi pemilu atau pilkada itu merupakan cara dari orang-orang beradab dalam mewujudkan keadilan. Akan tidak adil apabila prosedurnya dilewati. Itu sebabnya, di dalam negara demokrasi kontitusional, du process of law itu memiliki nilai yang tinggi, sebab dia menjadi cara bagaimana keadilan diwujudkan,” papar Margarito.
Sebagaimana diketahui, sampai saat ini MK telah menerima sebanyak 136 permohonan perselisihan hasil pilkada (PHPKada) sejak pengumuman pleno hasil pilkada 2020 oleh KPU di sejumlah daerah.
Dari 136 permohonan yang masuk ke MK dari 116 daerah, ada 25 permohonan yang memang memenuhi ambang batas 0,5 hingga 2 persen sebagaimana ditentukan oleh Pasal 158 UU Pilkada.
Menurut Margarito, sebanyak 136 pasangan calon yang mengikuti Pilkada Serentak 2020 lalu, kini menanti keadilan di MK. Jadi, lebih baik MK kesampingkan Pasal 158 tersebut. (RO/OL-09)
pemilu nasional dan lokal dipisah, , siapa yang bakal memimpin daerah setelah masa jabatan kepala daerah Pilkada 2024 berakhir?
MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan bahwa mulai tahun 2029, pemilihan umum (pemilu) di Indonesia harus diselenggarakan secara terpisah antara pemilu nasional dan pemilu daerah.
Keputusan MK terkait PHPU kepala daerah pasca-PSU semestinya bisa memberikan kepastian hukum dan terwujudnya ketertiban di daerah.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengusulkan agar ke depannya anggaran penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
DIREKTUR DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati menilai Bawaslu tidak serius dalam menangani proses penanganan politik uang saat PSU Pilkada Barito Utara
Kejadian di Barito Utara menunjukkan adanya permasalahan mendasar terkait pencegahan dan penegakan hukum atas pelanggaran politik uang saat pilkada.
WAKIL Ketua DPR RI Adies Kadir menegaskan tidak ada rencana melakukan revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK).
WAKIL Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melampaui kewenangan konstitusional karena menetapkan pemisahan pemilu nasional dan lokal
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan lokal telah melampaui kewenangannya
Sejarah ketatanegaraan kita menunjukkan terjadinya inkonsistensi terhadap pelaksanaan pemilihan.
Menurutnya, penting bagi DPR dan Pemerintah untuk bisa menjelaskan seberapa partisipatif proses pembentukan UU TNI.
Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru, menegaskan, putusan tersebut berpotensi melanggar konstitusi dan melewati batas kewenangan MK.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved