Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Awas Barter Politik dalam Ambil Putusan

Indriyani Astuti
21/12/2020 01:40
Awas Barter Politik dalam Ambil Putusan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) bersama hakim konstitusi Arief Hidayat (kanan) dan Wahiduddin Adams.(MI/SUSANTO)

SALAH satu norma dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) kini sedang diuji materi ke MK, yakni Pasal 87 huruf b UU MK.

Pasal itu mengakibatkan hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan akan meneruskan jabatan mereka sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugas mereka tidak melebihi 15 tahun, walau sudah memasuki periode kedua jabatan, tanpa melalui mekanisme seleksi kembali.

Dalam merespons hal itu, mantan hakim MK Maruarar Siahaan sempat mengatakan perpanjangan masa jabatan hakim MK bisa menjadi barter politik bagi hakim MK yang kini menjabat. “Jabatan 15 tahun diberikan ke generasi hakim MK yang sekarang maka itu adalah suatu barter politik. Seharusnya itu untuk generasi mendatang, bukan sekarang,” tutur Maruarar.

Ia menilai, jika keberlakuan pasal perpanjangan masa jabatan diterapkan pada hakim konstitusi yang menjabat saat ini, akan ada potensi yang mengganggu independensi MK dalam menyidangkan dan memutus perkara pengujian undang-undang yang dibuat DPR dan pemerintah.

Menurutnya, perpanjangan masa jabatan hakim MK seharusnya dibarengi dengan penguatan penegakan kode etik hakim. Namun, hal itu justru tidak diatur dalam revisi UU MK.

Seperti yang telah diberitakan, UU MK diuji secara formal dan materiil oleh masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan MK, antara lain terdiri atas Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi.

Revisi UU MK terbaru dianggap diselesaikan dengan terburu-buru dan mengabaikan aturan perundangan serta mengandung beberapa pasal yang berpotensi bertentangan dengan konstitusi. Saat ini MK menunda persidangan pengujian UU tersebut dan akan dilanjutkan pada 2021.

Sumber: Mahkamah Konsititusi/Tim MI/Riset MI-NRC

 


Perkuat kinerja

Namun, bagi istana, pemberian masa jabatan hingga 15 tahun kepada hakim MK melalui revisi Undang-Undang MK merupakan upaya untuk memperkuat kinerja lembaga tersebut.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian mengungkapkan, sebagai lembaga negara yang sangat strategis yang bertugas mengawal dan menjaga konstitusi, MK dianggap memerlukan beberapa perbaikan dari sisi internal.

Salah satunya terkait dengan masa jabatan. “Masa jabatan yang panjang akan membantu para hakim untuk bekerja dengan lebih fokus. Lebih terukur dan optimal,” ujar Donny.

Ia pun membantah tudingan yang menyebut perpanjangan masa jabatan merupakan sebuah upaya barter politik demi mengamankan kebijakankebijakan yang dihasilkan pemerintahan saat ini.

“Tidak ada barter politik. Tidak ada kaitannya dengan dengan kasus-kasus yang diajukan ke MK yang mana pemerintah jadi pihak yang beperkara,” jelasnya.

“Saya kira hakim MK adalah sosok yang penuh integritas dan akan memutuskan berdasarkan pertimbangan keadilan, bukan atas pertimbangan politik,” tandas Donny.

Terkait dengan hal itu, fraksi yang ada di DPR tidak langsung satu suara. Sempat terjadi dinamika sebelum akhirnya semua fraksi menyetujui revisi UU MK, yakni UU Nomor 7 Tahun 2020.

Politikus Demokrat Benny K Harman mengatakan, sebagai partai oposisi, Demokrat salah satu fraksi yang menolak pembahasan RUU tersebut. Alasannya masih banyak RUU yang lebih penting mengingat pandemi covid-19.

“Namun, Demokrat kalah suara sehingga Komisi III dalam rapat kerja dengan pemerintah menyepakati untuk membahas lebih lanjut RUU ini,” ujarnya.

Benny menuturkan, salah satu poin yang dibahas dalam revisi ialah masa jabatan hakim MK. Dalam draf RUU yang diajukan dewan, usia minimal 60 tahun dan maksimal 70 tahun. Pemerintah kemudian mengubah minimal 55 tahun dan masa pensiun 70 tahun.

Politikus Partai NasDem Taufik Basari menambahkan, penghapusan periodisasi hakim konstitusi dalam UU MK diharapkan membuat para hakim tidak berpikir lagi untuk mendapat posisi lainnya di luar MK.

”Melainkan mereka harus menjadi negarawan dan mengabdi sepenuhnya untuk rakyat, bangsa, dan negara,” ujarnya. (Uta/Pra/Tri/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya