Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Korupsi Pantang Surut

Dhika Kusuma Winata
14/12/2020 02:05
Korupsi Pantang Surut
Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo (tengah) berjalan menuju mobil tahanan usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta. Sabtu (5/12/2020).(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 dengan pemungutan suara yang baru saja digelar pekan lalu menjadi istimewa. Hal itu lantaran pilkada kali ini terselenggara di tengah pandemi sekaligus pencoblosan yang bertepatan dengan Hari Antikorupsi Sedunia.

Sayangnya, meski dibanjiri dengan peringatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi kepala daerah tetap saja marak. Sebagian bahkan tertangkap tangan berkaitan langsung dengan kontestasi di pilkada.

Contohnya, petahana Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo. KPK menduga Wenny menerima suap dari pengusaha untuk kepentingan pilkada.

Partai-partai politik (parpol) mengklaim telah berupaya mencegah korupsi para kandidat kepala daerah maupun ketika mereka telah terpilih. Pengawasan dinilai sangat penting selain penanaman wawasan budaya antikorupsi.

“Korupsi itu terjadi karena ada monopoli dan diskresi tanpa pengawasan yang kuat,” papar politikus PKS Nasir Djamil kepada Media Indonesia, kemarin.

Menurut Nasir, PKS sebagai partai dakwah telah meminta kepada kader dan nonkadernya yang terpilih menjadi kepala daerah untuk bekerja sama dengan sejumlah pihak. Itu mulai KPK, Ombudsman, BPK, hingga BPKP RI untuk menguatkan sistem pencegahan dan deteksi dini potensi adanya korupsi dengan segala bentuknya.

Demikian pula di Partai Golkar. Politikus Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan semua kader yang terpilih di pilkada wajib memegang amanah. “Ada beberapa hal yang akan dilakukan Partai Golkar dalam memastikan para kadernya memegang amanah rakyat tersebut. Mereka harus bekerja sesuai dengan visi dan misi yang telah dijanjikannya tersebut,” ujarnya.

Dalam proses kebijakannya di daerah harus dipastikan tepat sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Golkar Institute pun digelar untuk memastikannya. Ace mengatakan salah satu materi pokok yang akan disampaikan ialah tentang pendidikan antikorupsi.

Sejurus dengan PKS dan Golkar, Sekretaris Jenderal DPP PAN Eddy Soeparno mengatakan partainya juga telah meminta seluruh calon kepala daerah menandatangani pakta integritas. Tujuannya tentu mencegah kandidat yang terpilih terperosok ke dalam praktik korupsi.

Setiap calon kepala daerah juga menjalani proses pembekalan dari partai. “Mereka juga dijelaskan soal dampak ketika melakukan korupsi yang sangat fatal karena selain mendapatkan sanksi penjara, juga sanksi sosial baginya dan keluarganya seumur hidup,” pungkasnya.

Sumber: KPK/Tim Riset MI-NRC/ Grafis: SENO


Transparansi rendah

Terlepas dari berbagai upaya oleh parpol tersebut, nyatanya korupsi kepala daerah belum terbendung. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan masalah transaksi politik dan biaya tinggi pilkada menjadi persoalan klasik yang memicu korupsi kepala daerah.

“Sebenarnya klaim dalil ongkos politik yang mahal kalau dikomparasikan dengan data laporan kampanye itu terbantahkan. Laporan dana kampanye calon selalu menggambarkan angka-angka yang masuk akal. Klaim biaya politik tinggi itu dikontribusikan oleh praktik di ruang-ruang ilegal, di ruang-ruang gelap,” ucap Titi, kemarin.

Menurut Titi, selama ini pelaporan dana kampanye hanya formalitas administrasi, belum menjadi komitmen integritas calon kepala daerah. Rendahnya transparansi itu juga dikontribusikan pengawasan dana kampanye yang dinilai masih sangat lemah.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak punya instrumen dan kewenangan yang memadai. Untuk itu, diperlukan penguatan pengawasan dana kampanye untuk mencegah praktik-praktik koruptif.

“Sebaiknya PPATK dan KPK terlibat dalam pengawasan dana kampanye, tinggal kemudian ada perluasan pemaknaan dana kampanye. Karena LHKPN harus dilaporkan semua calon, pengawasan dana kampanye sebaiknya juga kepada yang pejabat negara maupun bukan sehingga daya jangkau untuk melihat praktik suap itu juga bisa kepada yang bukan petahana dan ini pintu masuknya bisa di UU Pilkada atau UU Pemilu,” jelas Titi.

Titi juga menyarankan pemangkasan syarat dukungan pencalonan kepala daerah. Syarat pencalonan yang tinggi dinilai berkontribusi pada praktik mahar demi mendapatkan dukungan parpol. (Cah/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya