Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Jabatan Dibatasi 2 Kali, Hakim Adhoc Gugat ke MK

Indriyani Astuti
02/11/2020 18:55
Jabatan Dibatasi 2 Kali, Hakim Adhoc Gugat ke MK
Sidang uji materil no perkara 85/PUU-VIII/2020 pengujian materil undang-undang no 26 Tahun 209 tentang Tipkor, hari ini.(Dok.MI)

DUA hakim ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Bali, yakni Sumali dan Hartono mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya merasa periodisasi masa jabatan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor yang hanya biasa dua kali terpilih, diskriminatif.

Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU 46/2009) sehingga pemohon menganggap pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

"Bahwa para Pemohon mendalilkan telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya pasal undang-undang a quo dikarenakan adanya periodisasi jabatan hakim ad hoc tindak pidana korupsi selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali jabatan maka mengancam kebebasan hakim dan menimbulkan permasalahan dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi," papar kuasa hukum pemohon Ahmad Fauzi di depan Majelis Hakim Panel MK yang diketuai Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan anggota Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams dan Suhartoyo dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Senin (2/11).

Pemohon beralasan, bahwa dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak ada satupun norma pasal yang mengatur periodisasi bagi hakim yang berada di lingkungan peradilan maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Oleh karena itu, norma tentang periodisasi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi dianggap merupakan suatu bentuk kerugian yang nyata bagi para pemohon, yang melampaui peraturan dasarnya yakni ketentuan Pasal 24 ayat (1),

Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. "Periodisasi masa jabatan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi bertentangan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman di mana periodisasi jabatan mengancam kebebasan hakim dan menimbulkan permasalahan yang serius yakni masalah dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi," papar Kuasa Hukum Pemohon.

Oleh karena itu, pemohon meminta majelis hakim MK untuk menyatakan Pasal 10 angka 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang sebelumnya “Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat 4 untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”, berlaku konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) menjadi frasa baru yang selengkapnya berbunyi: “Masa tugas hakim ad hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan diusulkan untuk diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun oleh Mahkamah Agung.

Menanggapi pemohonan pemohon, Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams memberikan nasihat terkait perbaikan redaksional permohonan seperti tidak adanya nomor halaman pada lembar permohonan, kesalahan penulisan pada ayat dan lain-lain. Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan apabila kedudukan hukum pemohon dijadikan satu dan tidak dipecah, mahkamah akan memberikan pemaknaan bahwa kedua pemohon sama.

Padahal bisa saja hanya salah satu yang dianggap memiliki kedudukan hukum. Ia menjelaskan bahwa keberadaan hakim ed hoc Pengadilan Tipikor diharapkan bisa memberikan kontribusi dan keahliannya dalam bidang tindak pidana korupsi. Ia pun meminta agar pemohon menjelaskan apakah dengan adanya periodisasi masa jabatan seperti yang diinginkan pemohon, jabatan hakim ad hoc akan kehilangan esensinya atau malah sebaliknya.

"Tolong dinarasikan apakah semangat itu masih sampai sekarang dan dikaitkan apakah periodisasi masa jabatan merugikan konstitusional hakim ad hoc. Apakah dengan diangkatnya berulang kali, jabatan hakim ad hoc kehilangan esensi atau tidak. Kalau tidak tolong dielaborasi argumentasinya," tegasnya.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan pemohon memperbaiki permohonannya sehingga lebih mudah dibaca banyak kalangan. "Ini akan dipublikasikan sehingga dapat dibaca oleh semua orang, mohon dibuat serapih mungkin," tukasnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya