Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan tingginya alokasi untuk jaring pengaman sosial di daerah yang melangsungkan Pemi-
lihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan hal itu menjadi titik rawan pelanggaran politisasi APBD.
“Calon petahana mengalokasikan APBD dana untuk jaring pengaman sosial. Ada daerah yang tinggi sekali untuk penanganan covid, begitu kita cek, ternyata pilkada, padahal orang yang positif covid-19 rendah,” ujar Firli dalam Webinar Nasional Pembekalan Seluruh Pasangan Calon dan Penyelenggara Pemilu di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, kemarin.
Hadir dalam acara itu Mendagri Tito Karnavian, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, dan Pelaksana Harian Ketua KPU Ilham Saputra.
Firli menjelaskan, dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada, 58 di antaranya menganggarkan jaring pengaman sosial (JPS) untuk
penanganan pandemi covid-19 di atas 40% dari total APBD. Selain itu, pada daerah yang kepala daerahnya berpotensi maju kembali yakni di 31 daerah, alokasi untuk JPS melebihi 50% dari APBD. Bahkan, ada 6 daerah yang mengalokasikan JPS melebihi 75% dari total APBD.
Menurut Firli, temuan KPK itu dapat menjadi bagian dari penguatan pengawasan dan pencegahan penyalahgunaan anggaran untuk kepentingan pilkada. Berdasarkan survei yang dilakukan KPK pada tiga kali penyelenggaraan pilkada, yaitu di 2015, 2017, dan 2018, ditemukan realitas masifnya korupsi yang dilakukan kepala daerah.
“Pada 2018 menjadi kasus tertinggi yang tertangkap. Setidaknya 30 kali kepala daerah tertangkap dengan 132 tersangka. Ini menjadi keprihatinan kita,” paparnya.
Dia menuturkan, biaya politik yang tinggi menjadi alasan kepala daerah terpilih melakukan korupsi. Hal itu terlihat dari wawancara mendalam yang dilakukan KPK terkait pelaksaan pilkada sebelumnya. Ada gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon kepala daerah yang dicantumkan dalam laporan harta pasangan calon. “Untuk pilkada bupati biayanya Rp5 miliar-10 miliar, untuk menang Rp65 miliar, sementara hartanya Rp18 miliar. Itu minus.”
Karena itu, tidak mengherankan jika survei terbaru KPK menunjukkan 82,3% calon kepala daerah menyata- kan uang untuk maju berkontestasi dibiayai oleh pihak ketiga (donatur). “Kok mau orang membantu? kita survei lagi, karena ada janji akan memenuhi permintaan dari pihak ketiga. Artinya, calon kepala daerah sudah menggadaikan kekuasaannya kepada pihak yang membiayai pilkada. Kalau itu terjadi, sudah tentu ada korupsi dan berhadapan dengan masalah hukum,” terang Firli.
Rekomendasi Bawaslu
Pernyataan KPK bahwa ada politisasi APBD untuk kepentingan pilkada diamini Ketua Bawaslu Abhan. Menurutnya, Bawaslu menerima laporan dari beberapa daerah terkait dengan alokasi bantuan sosial untuk kampanye. Laporan itu sudah ditindaklanjuti dan terpenuhi unsur-unsur penyalahgunaan wewenang.
Bawaslu pun telah memberikan rekomendasi kepada KPU untuk mendiskualifi kasi sejumlah pasangan calon kepala daerah tersebut. “Penyalahgunaan wewenang menjadi bagian dari unsur korupsi. Kami sudah melakukan tindakan merekomendasikan (kepada) KPU untuk mendiskualifikasi. Ada beberapa daerah terkait pelanggaran politisasi bantuan penanganan covid-19 ataupun yang lain yang sifatnya masuk Pasal 71 ayat 1, 2, 3 UU No 10/2016 tentang Pilkada,” ungkap Abhan.
Pasal 71 UU tentang Pilkada mengatur larangan petahana untuk menyalahgunakan kekuasaan. Pilkada yang dilangsungkan di tengah pandemi, imbuh Abhan, membuka peluang bagi para calon kepala daerah terutama petahana untuk memolitisasi bantuan sosial. (Dhk/X-8)
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
MK mengatakan selama ini terdapat perbedaan atau ketidaksinkronan peran Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu dengan pelanggaran administrasi pilkada.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Pengalaman dari Pemilu 2024 menunjukkan betapa tingginya partisipasi masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran.
Demokrasi tidak bisa dipisahkan dari politik karena sesungguhnya politik adalah bagian yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari
Bagja tetap mengimbau Bawaslu Sulawesi Selatan dan Kota Palopo untuk mengawasi setiap potensi terjadinya praktik haram tersebut.
Selama ini pelaporan dana kampanye hanya dilakukan untuk memenuhi syarat administratif. Dana yang dilaporkan juga diduga tak sepenuhnya sesuai dengan realitas di lapangan.
Batasan dana kampanye diperketat agar tidak ada dominasi kandidat dengan modal besar,
ICW ungkap dari 103 pasangan calon (paslon) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, rata-rata menerima dana sumbangan untuk kampanye sebesar Rp3,8 miliar.
Anggota Bawaslu Bali, I Wayan Wirka mengingatkan kepada para pasangan calon yang berkontestasi di Pilkada bahwa pelanggaran dana kampanye memiliki konsekuensi hukum.
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Kota Tegal, Jawa Tengah, mengingatkan agar tiap pasangan calon (paslon) kepala daerah di Pilkada 2024 mematuhi aturan kampanye maupun aturan tentang dana kampanye.
Dana kampanye Pilkada 2024 pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur tertinggi di tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara mencapai Rp1 miliar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved