Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Politisasi Dana Pandemi Marak di Pilkada

Indriyani Astuti
21/10/2020 03:49
Politisasi Dana Pandemi Marak di Pilkada
Politisasi Dana Pandemi Marak di Pilkada(Bawaslu/KPK/Tim Riset MI-NRC)

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan tingginya alokasi untuk jaring pengaman sosial di daerah yang melangsungkan Pemi-
lihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan hal itu menjadi titik rawan pelanggaran politisasi APBD.

“Calon petahana mengalokasikan APBD dana untuk jaring pengaman sosial. Ada daerah yang tinggi sekali untuk penanganan covid, begitu kita cek, ternyata pilkada, padahal orang yang positif covid-19 rendah,” ujar Firli dalam Webinar Nasional Pembekalan Seluruh Pasangan Calon dan Penyelenggara Pemilu di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, kemarin.

Hadir dalam acara itu Mendagri Tito Karnavian, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, dan Pelaksana Harian Ketua KPU Ilham Saputra.

Firli menjelaskan, dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada, 58 di antaranya menganggarkan jaring pengaman sosial (JPS) untuk
penanganan pandemi covid-19 di atas 40% dari total APBD. Selain itu, pada daerah yang kepala daerahnya berpotensi maju kembali yakni di 31 daerah, alokasi untuk JPS melebihi 50% dari APBD. Bahkan, ada 6 daerah yang mengalokasikan JPS melebihi 75% dari total APBD.

Menurut Firli, temuan KPK itu dapat menjadi bagian dari penguatan pengawasan dan pencegahan penyalahgunaan anggaran untuk kepentingan pilkada. Berdasarkan survei yang dilakukan KPK pada tiga kali penyelenggaraan pilkada, yaitu di 2015, 2017, dan 2018, ditemukan realitas masifnya korupsi yang dilakukan kepala daerah.

“Pada 2018 menjadi kasus tertinggi yang tertangkap. Setidaknya 30 kali kepala daerah tertangkap dengan 132 tersangka. Ini menjadi keprihatinan kita,” paparnya.

Dia menuturkan, biaya politik yang tinggi menjadi alasan kepala daerah terpilih melakukan korupsi. Hal itu terlihat dari wawancara mendalam yang dilakukan KPK terkait pelaksaan pilkada sebelumnya. Ada gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon kepala daerah yang dicantumkan dalam laporan harta pasangan calon. “Untuk pilkada bupati biayanya Rp5 miliar-10 miliar, untuk menang Rp65 miliar, sementara hartanya Rp18 miliar. Itu minus.”

Karena itu, tidak mengherankan jika survei terbaru KPK menunjukkan 82,3% calon kepala daerah menyata- kan uang untuk maju berkontestasi dibiayai oleh pihak ketiga (donatur). “Kok mau orang membantu? kita survei lagi, karena ada janji akan memenuhi permintaan dari pihak ketiga. Artinya, calon kepala daerah sudah menggadaikan kekuasaannya kepada pihak yang membiayai pilkada. Kalau itu terjadi, sudah tentu ada korupsi dan berhadapan dengan masalah hukum,” terang Firli.

Rekomendasi Bawaslu

Pernyataan KPK bahwa ada politisasi APBD untuk kepentingan pilkada diamini Ketua Bawaslu Abhan. Menurutnya, Bawaslu menerima laporan dari beberapa daerah terkait dengan alokasi bantuan sosial untuk kampanye. Laporan itu sudah ditindaklanjuti dan terpenuhi unsur-unsur penyalahgunaan wewenang.

Bawaslu pun telah memberikan rekomendasi kepada KPU untuk mendiskualifi kasi sejumlah pasangan calon kepala daerah tersebut. “Penyalahgunaan wewenang menjadi bagian dari unsur korupsi. Kami sudah melakukan tindakan merekomendasikan (kepada) KPU untuk mendiskualifikasi. Ada beberapa daerah terkait pelanggaran politisasi bantuan penanganan covid-19 ataupun yang lain yang sifatnya masuk Pasal 71 ayat 1, 2, 3 UU No 10/2016 tentang Pilkada,” ungkap Abhan.

Pasal 71 UU tentang Pilkada mengatur larangan petahana untuk menyalahgunakan kekuasaan. Pilkada yang dilangsungkan di tengah pandemi, imbuh Abhan, membuka peluang bagi para calon kepala daerah terutama petahana untuk memolitisasi bantuan sosial. (Dhk/X-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya