Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
SETIAP kali berbicara tentang sumber daya alam, kita pantas bersyukur atas berkah yang diberikan kepada bangsa ini.
Di balik rasa syukur, kita pun kemudian sering bertanya, apakah kekayaan alam ini benar-benar merupakan berkah ataukah justru menjadi musibah.
Para pendiri negara ini memimpikan kekayaan alam menjadi modal bagi bangsa ini mencapai kesejahteraan.
Oleh karena itu, di dalam konstitusi dikatakan, kekayaan alam itu dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Bagaimana lalu kita menerjemahkan dan mengimplementasikan mimpi para bapak bangsa itu? Di sinilah kita kemudian kehilangan pegangan.
Kita mempunyai persepsi sendiri-sendiri.
Bahkan akhirnya kita melihat aspek kesejahteraan rakyat itu terabaikan.
Itu tecermin dari angka kesenjangan yang semakin melebar.
Sayangnya, ketika berbicara soal kesenjangan yang semakin melebar, kambing hitamnya ialah investor asing.
Padahal, yang lebih membahayakan ialah penerjemahan dari para pemegang kekuasaan yang memberikan pengelolaan sumber daya alam itu kepada kelompok kepentingan mereka saja.
Sekarang ini kita sebenarnya sedang dihadapkan pada ancaman krisis energi.
Kebutuhan energi jauh lebih besar daripada produksi yang bisa kita hasilkan.
Pada 2025 mendatang, kekurangan pasokan energi bisa mencapai 2 juta barel ekuivalen minyak per hari.
Ketika harga minyak rendah seperti sekarang, anggaran negara masih bisa menutupinya.
Akan tetapi, ketika nanti harga minyak bergerak naik, yang menurut perkiraan Wood MacKenzie tahun ini akan bergerak ke US$57 per barel, artinya setiap hari kita harus mengeluarkan devisa Rp2 triliun untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Satu tahun akan lebih dari Rp700 triliun devisa harus kita keluarkan dan itu berarti dua kali anggaran pembangunan infrastruktur yang tahun ini kita anggarkan.
Kita sebenarnya masih memiliki lebih dari 70 blok minyak dan gas yang bisa dieksplorasi. Namun, dibutuhkan biaya besar untuk kegiatan itu.
Ketika kemampuan pembiayaan nasional terbatas, kita bisa sebenarnya mengundang investor asing untuk berpartisipasi.
Akan tetapi, kita ragu untuk membuat iklim investasi yang menarik orang untuk menanamkan modalnya.
Inilah salah satu contoh kegamangan yang kita hadapi.
Kita lupa untuk menempatkan energi sebagai faktor pendorong pembangunan, bukan lagi sumber penerimaan negara seperti era Orde Baru dulu.
Karena itu bukan lagi sumber penerimaan utama negara, manfaat bagi kesejahteraan rakyat seharusnya dilihat bukan lagi dari nilai rupiah yang didapat, melainkan multiplier effect yang bisa dirasakan rakyat.
Hal yang sama berlaku untuk pengelolaan tambang.
Saudara kita di Papua selama ini hidup dari sektor tambang dan migas.
Satu-satunya tambang yang beroperasi di sana adalah PT Freeport Indonesia, sedangkan blok gas Tangguh ditangani British Petroleum.
Sekarang ada pemikiran untuk mengambil alih 51% kepemilikan saham Freeport seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1/2017.
Tidak ada yang salah dengan keinginan itu.
Namun, semua itu ada tahapannya dan tidak sekali jadi.
Pada masa transisi seperti sekarang, bagaimana nasib warga Papua yang hidupnya bergantung pada kegiatan Freeport?
Dengan larangan ekspor saja, Freeport memutuskan untuk mengurangi produksi menjadi tinggal 40%.
Akibatnya, otomatis akan ada pengurangan kegiatan di lokasi tambang.
Ketika tidak ada alternatif lapangan pekerjaan pengganti, wajar masyarakat di Papua menjadi resah.
Keuangan pemerintah daerah saja sekarang ini langsung terganggu.
Penerimaan negara dari hasil tambang pun langsung menciut.
Ketika hal-hal seperti itu tidak diperhitungkan, yang rusak kredibilitas pemerintah sendiri.
Sekarang ada rencana untuk memberikan izin ekspor konsentrat sementara karena dampak sosial dan ekonominya ternyata terlalu mahal.
Kita perlu membuat definisi baru soal kesejahteraan rakyat dari kekayaan alam agar semua ini tidak menjadi musibah.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved