Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat. Bagi rakyat kecil yang masuk kelompok sasaran bansos, program yang sepenuhnya dibiayai negara itu sangatlah membantu meringankan beban hidup mereka, apalagi di tengah kondisi perekonomian yang mencekik leher seperti sekarang.
Namun, karena pada praktiknya banyak penyimpangan dan penyelewengan, terutama dalam hal pendistribusian, tujuan baik bansos jadi kerap tertutupi. 'Nama baik' bansos jadi tercoreng karena praktik penyimpangan terus saja terjadi. Sialnya, pencoreng nama bansos itu malah makin banyak belakangan ini. Bukan cuma dari sisi pengelola atau penyalur, melainkan juga penerima bansos.
Kita mulai dari sisi pengelola, yaitu pemerintah. Karena ada anggaran besar di situ, godaan untuk melencengkan pemanfaatan dana bansos menjadi besar pula. Sudah banyak contoh kasus bagaimana bansos dengan semena-mena diselewengkan dari tujuan awal demi tujuan lain.
Pertama tentu saja soal korupsi. Anggaran bansos yang seharusnya disalurkan untuk membantu mendongkrak daya beli masyarakat miskin, membantu keluarga miskin meningkatkan peluang keluar dari garis kemiskinan, sering kali malah ditilap para pejabat pemerintah. Anggaran untuk orang miskin dicuri pejabat kaya.
Gara-gara itu, ada yang kemudian dengan sarkas memelesetkan kepanjangan bansos menjadi 'bandit sosial' lantaran saking banyaknya bandit alias penjahat berkedok pejabat yang menjarah dana sosial. Dengan alasan yang sama, ada pula yang memanjangkan singkatan bansos menjadi 'bancakan sosial'.
Itu semata merupakan ekspresi kegeraman publik yang sudah demikian memuncak. Publik marah dan muak melihat kelakuan para pejabat karena bahkan dalam kondisi darurat bencana ataupun darurat nonbencana pun, bandit-bandit itu tak segan melancarkan aksi lancung mereka, menjadikan bansos sebagai bancakan korupsi.
Kalau mau contoh paling spektakuler, ya, kejadian saat pandemi covid-19 yang bahkan sampai menyeret menteri sosial kala itu ke balik jeruji penjara karena terbukti menerima suap bansos penanganan pandemi untuk wilayah Jabodetabek pada 2020. Kasus yang totalnya menyebabkan kerugian negara hingga Rp125 miliar itu juga menyeret beberapa orang lain di lingkungan kementerian lain dan swasta.
Penyimpangan berikutnya yang dilakukan pengelola ialah politisasi bansos. Bantuan yang seharusnya diniatkan sebulat-bulatnya untuk membantu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan malah diembel-embeli tujuan politik kepentingan kelompok tertentu. Bansos jadi alat tawar politik, jadi instrumen untuk membarter elektoral.
Mau contoh? Lihat saja pelaksanaan dua pemilu terakhir, terutama pada Pemilu 2024 lalu. Suka tidak suka mesti kita akui politisasi bansos pada akhirnya berhasil menjadi salah satu faktor yang mengubrak-abrik prediksi elektoral pada Pemilu 2024, terutama dalam konteks pilpres. Kelompok yang ditengarai didukung penguasa yang memiliki kuasa atas anggaran bansos berhasil memenangi pemilu dengan skor telak.
Lantas kapan nama bansos tercoreng lantaran ulah penerimanya? Nah, ini ada temuan terbaru dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menurut lembaga itu, ada lebih dari setengah juta penerima bansos yang diduga memanfaatkan dana bantuan yang mereka terima untuk bermain judi daring atau judi online (judol). Angka itu kurang lebih sama dengan 2% dari total penerima bansos tahun lalu.
PPATK memperoleh data itu setelah mencocokkan 28,4 juta nomor induk kependudukan (NIK) penerima bansos dan 9,7 juta NIK pemain judol. Hasilnya terdapat 571.410 NIK punya kesamaan identitas. Mereka sepertinya bukan pemain judol 'abal-abal', terbukti mereka bisa melakukan 7,5 juta transaksi dengan total deposit mencapai Rp957 miliar.
Bisa dibilang itu kesalahan level combo, dobel, sudah menyalahgunakan bantuan negara, disalahgunakannya pun untuk aktivitas ilegal. Levelnya tak lagi sebatas memanfaatkan dana bansos secara ngawur untuk membeli ponsel, rokok, atau belanja barang yang tidak penting, tapi menyalahgunakannya untuk kegiatan yang berpotensi melanggar hukum.
Negara juga tekor. Sudah setengah mati menggelontorkan triliunan rupiah untuk bansos, eh, sebagian malah dilarikan ke rumah-rumah judi. Pada saat yang sama, tujuan utama penyaluran bansos tidak kesampaian. Ekonomi masyarakat kecil tak kunjung terangkat, angka kemiskinan juga tak berkurang.
Ya, begitulah nasib bansos. Dananya dicoleng, nama baiknya pun dicoreng. Bansos tidak salah apa-apa, tapi konotasi negatif kian menempel padanya akibat penyimpangan-penyimpangan di segala sisi. Belum lagi masalah klasik terkait dengan pendataan penerima bansos yang tak pernah terselesaikan, yang membuat kejadian distribusi salah sasaran masih acap terjadi.
Nasib bansos tak lebih baik daripada nasib orang-orang yang seharusnya menerima bansos, tapi terpaksa gigit jari karena anggarannya keduluan dikorupsi. Sama mengenaskannya dengan nasib masyarakat miskin yang tak masuk daftar penerima bansos hanya lantaran sistem pendataan yang ngawur dan semrawut.
Dengan segala problematikanya, program bansos yang mengantongi anggaran besar memang harus dibentengi dengan aturan yang rigid. Tidak boleh sedikit pun yang abu-abu, jangan pula menyisakan celah, bila tidak mau bansos hanya dimanfaatkan untuk kepentingan lain selain untuk rakyat kecil. Nasib bansos akan jadi lebih baik kalau ia bisa dijauhkan dari tiga musuhnya saat ini: korupsi, politisasi, dan judi.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved