Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
BEBERAPA waktu lalu saya tergelitik dengan tulisan di bagian punggung kaus seseorang yang kebetulan saya temui di sebuah minimarket. Saya sedang antre persis di belakang orang itu sehingga mau tidak mau tulisan itu terpampang jelas di depan mata. Bunyinya begini, 'Kabar buruk setiap hari dikirim oleh negara'.
Menarik, bukan? Sedikitnya ada dua hal yang bagi saya menarik untuk ditelaah. Yang pertama bahwa ini menunjukkan eksistensi kaus oblong sebagai medium untuk mengekspresikan pendapat atau alat kampanye terkait dengan sikap seseorang atau kelompok memang masih kuat. Yang kedua, tentu saja, tentang substansi tulisan yang menggambarkan aura keresahan yang amat kuat dari warga negara tentang situasi negaranya.
Mari kita bahas dari yang pertama. Kaus memang sudah sejak lama menjadi media untuk menunjukkan identitas, ekspresi, bahkan ideologi seseorang. Ia tak sekadar bagian dari fesyen dan gaya hidup. Melalui desain, gambar, kata-kata, sampai pilihan warnanya, kaus telah berkembang menjadi penyampai pesan, humor, sekaligus kritik.
"I speak through my cloth," kata filsuf dan novelis Italia, Umberto Eco. "Aku berbicara melalui bajuku." Dimensi berbicara lewat baju (kaus), tentu saja, bermacam-macam. Boleh jadi hanya berisi kalimat-kalimat guyon atau humor seperti tren yang puluhan tahun silam pernah diinisiasi produsen kaus Joger di Bali dan Dagadu di Yogyakarta.
Bisa pula bahasa humor digabung dengan pesan moral. Contohnya, saya pernah membaca kaus bertuliskan 'Kata Mama, jangan ngobat kalo ga sakit'. Pesan dari kalimat itu tentu ingin mengajak orang agar menjauhi atau tidak menggunakan narkoba. Namun, kalimatnya dibikin ringan dan berbau humor biar menarik buat kalangan anak muda.
Dalam tingkatan yang lebih tinggi, kaus juga bisa berbicara dengan bahasa dan kalimat kritik, dari yang bernada sindiran halus, sarkas, hingga yang to the point alias tanpa tedeng aling-aling. Kritiknya pun beragam level, mulai yang lembut sampai yang paling nyelekit sekalipun.
Pada titik itu, kaus tak ubahnya seperti mural di dinding-dinding kota yang sangat mangkus sebagai ekspresi kritik sosial. Senyap, tapi menohok. Kaus tidak lagi sekadar menjadi media komunikasi visual atau representasi kebudayaan, tetapi juga bisa menjadi simbol perlawanan sosial. Seperti mural pula, kaus dengan sindiran dan kritiknya pun bisa bikin baper dan senewen penguasa.
Anda mungkin masih ingat kejadian pada Agustus 2021 silam, ketika Riswan, desainer kaus di Tuban, Jawa Timur, sempat berurusan dengan polisi gara-gara mengunggah kaus dagangan di akun Twitter (sekarang X) bergambar atau bertuliskan '404:Not Found'. Ketika itu, tulisan tersebut dinilai menyindir Presiden Joko Widodo. Riswan akhirnya dianggap melecehkan simbol negara dan dihukum meminta maaf kepada publik. Ada-ada saja.
Oke, sekarang kita kupas hal kedua, yaitu soal substansi dari kalimat 'Kabar buruk setiap hari dikirim oleh negara'. Secara riil apakah memang sudah sebegitu banyaknya negeri ini dijejali kabar buruk? Saya sebetulnya pengin mengatakan tidak, tetapi makin ke sini, apa yang tertulis di kaus itu rasanya justru makin mendekati fakta. Meskipun tidak datang setiap hari, kabar buruk dari negara betul-betul akrab dengan kita beberapa waktu terakhir ini.
Sebut saja mau mulai dari mana? Soal korupsi, misalnya, nyaris tak ada kabar baik. Yang ada justru berita-berita 'mengerikan' tentang kian murahnya integritas para pejabat pemerintah dan BUMN. Juga tentang makin entengnya mereka mengembat uang negara yang notabene berasal dari rakyat. Satuannya tak lagi juta atau miliar, tapi triliun. Bahkan kini makin banyak korupsi dengan nilai kerugian sampai ratusan triliun.
Soal tata kelola pemerintahan pun sama, isinya lebih banyak kabar buruk ketimbang kabar baik. Ada ketimpangan yang masih menganga antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Ada gap yang terlampau jauh antara das sollen (yang seharusnya) dan das sein (yang nyata, yang terjadi). Pemerintah dan rakyatnya enggak nyambung, bukankah itu kabar buruk?
Dalam konteks itu, kebijakan distribusi elpiji yang amburadul beberapa waktu lalu pasti akan selalu menjadi contoh ketidakbecusan tata kelola pemerintahan. Minimal dalam hal komunikasi. Amsal terbaru ialah polemik penundaan pengangkatan calon aparatur sipil negara (CASN) yang menimbulkan ketidakpastian dan menyebabkan keresahan luar biasa buat para CASN.
Pada saat yang bersamaan, justru ada kementerian, yang menterinya merupakan kader PSI, dengan seenaknya dan tanpa malu-malu memasukkan teman-temannya di partai ke tim Operation Management Office Indonesia’s Forestry and Other Land Use Net Sink 2030. Nepotisme sudah demikian telanjang. Apakah seperti itu kabar baik buat rakyat dari negara? Tentu tidak. Sekali lagi, tulisan di kaus itu tidak salah.
Sektor ekonomi juga penuh dengan kabar buruk. Terlebih ketika ribuan buruh PT Sritex mesti menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaannya pailit. Kabar buruk itu akan berlanjut kalau pemerintah tak segera mengambil kebijakan tepat untuk mencegah hal yang sama merembet ke pabrik-pabrik lain, bahkan ke sektor industri yang lain.
Itu semua bukti bahwa keresahan publik yang ditumpahkan lewat kaus itu sesungguhnya tulus. Mereka tak punya 'speaker' yang gelegarnya bisa menjangkau penguasa maka jalan satu-satunya agar suara mereka didengar ialah menuangkannya dalam kalimat di kaus mereka.
Jadi, biarkanlah kaus berbicara. Negara seharusnya dengan senang hati membacanya, tak perlu baper, tak usah alergi.
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved