Selamat Jalan Pak Kwik

Eep Saefulloh Fatah
29/7/2025 16:53
Selamat Jalan Pak Kwik
Kwik Kian Gie.(Dok. IBIKKG)

LAMA sekali komunikasi saya terputus dengan Pak Kwik Kian Gie. Tiba-tiba saja, pada 1 November 2023, melalui pesan WA, Pak Kwik meneruskan video berisi percakapan saya dengan Abraham Samad dalam program YouTube Speak Up. Menyertai video itu Pak Kwik mengirim emoji jempol berlatar merah putih, dengan lambang Garuda dan tulisan NKRI di dalamnya.

Kamipun bertukar sapa singkat. “Baik, karena usia tidak begitu mobile lagi,” tulis Pak Kwik, menjawab pertanyaan saya soal kabarnya.

Selepas itu, kami jadi lanjut berkomunikasi. Tidak terlalu intens. Hanya sesekali.

Pada 13 Desember 2023 misalnya, Pak Kwik mempertanyakan posisi saya dalam Pilpres 2024. Terlihat benar bahwa ia khawatir saya salah posisi dengan mendukung Prabowo Subianto. Pak Kwik menunjukkan kelegaannya setelah saya pastikan saya tidak dalam posisi itu.

Sejak awal November 2023 itu Pak Kwik lumayan rajin mengirimi saya video yang ia teruskan dari beberapa kanal YouTube. Tema-tema yang dipilihnya adalah: gugatan terhadap kualitas Pemilu, perlawanan terhadap Jokowi dan dinasti yang dibangunnya, kekhawatirannya soal re-militerisasi, dan kegalauannya akan masa depan demokrasi Indonesia.

Kesan yang saya tangkap dari obrolan-obrolan sangat terbatas lewat WA itu: Kwik Kian Gie adalah seorang nasionalis yang tak lelah berjuang untuk bangsa yang dicintainya hingga usia lanjut sudah membatasi mobilitasnya.

Sekolah Demokrasi Indonesia

Juli 2006, saya dan (Almarhum) Arifin Panigoro berikhtiar membangun Sekolah Demokrasi Indonesia. Niatnya, kami ingin menyelenggarakan pendidikan politik yang luas untuk menyiapkan setiap orang menjadi Warga Negara.

Yang melatari niat itu adalah kekhawatiran kami bahwa demokrasi Indonesia terus berjalan maju tapi sambil terancam oleh satu bahaya serius: Defisit para demokrat.  Demokrasi pun kelak akan keropos tanpa ketersediaan para demokrat.

Pak Kwik adalah satu penyokong serius niat itu. Dalam sejumlah perbincangan pribadi, Pak Kwik menegaskan sikapnya soal pendidikan politik atau pendidikan kewarganegaraan.

“Celakalah kita jika tak ada yang peduli pada urusan mendidik rakyat untuk siap berdemokrasi,” begitu kurang lebih katanya.

Seperti halnya Mohammad Hatta, Pak Kwik bukan hanya peduli dan mumpuni dalam hal ihwal ekonomi, tetapi sangat yakin akan pentingnya sokongan rakyat terdidik bagi kemajuan bangsa. Mungkin dipengaruhi oleh tokoh semacam Hatta pula, ia cenderung 'berorientasi ke dalam' dalam arah kebijakan ekonomi yang diperjuangkannya — baik saat menduduki jabatan publik maupun ketika berada di luar jabatan publik.

Tapi tak cukup di situ, Pak Kwik mencemaskan demokrasi Indonesia bernasib sama dengan banyak demokrasi di Amerika Latin pada dekade 1960-an dan 1970-an.

Sebab musabab kemunduran demokrasi di Amerika Latin beragam. Namun ada satu hal yang menjadi sebab pokok yang umum: Gagalnya demokrasi mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial yang kemudian menurunkan daya terima warga terhadap demokrasi. Pak Kwik mengkhawatirkan skenario serupa ini bisa menimpa demokrasi Indonesia.

Pak Kwik juga mengaku galau pada tak terkelola dengan layak dan efektifnya pemberantasan korupsi. Di luar banyak faktor lain, menurut Pak Kwik, korupsi dalam berbagai bentuknya — termasuk kebocoran anggaran negara — adalah kontributor besar bagi kegagalan ekonomi dan pengeroposan demokrasi Indonesia.

Berbasis disiplin ilmu ekonomi yang dikuasainya, Pak Kwik menghubungkan kegagalan-kegagalan kebijakan ekonomi dengan turunnya daya terima warga terhadap demokrasi serta percepatan degradasi demokrasi yang disebabkan oleh maraknya korupsi.

Berbasis perbincangan-perbincangan pribadi kala itu, seperti itulah konstruksi pikiran Pak Kwik yang saya tangkap. Tentu saja, ini tak mewakili seluruh spektrum isu yang dijangkau Pak Kwik dalam penjelajahan intelektualnya yang luas dan panjang.

Yang jelas, berbasis pikiran itulah Pak Kwik menyatakan dukungannya pada ikhtiar-ikhtiar pendidikan politik dan kewarganegaraan. Menurutnya, demokrasi Indonesia hanya akan matang manakala disokong oleh ketersediaan warga, publik atau rakyat yang memahami dan mendukung demokrasi.

Seorang Pendidik

Pak Kwik di atas segalanya adalah pendidik. Maka beruntunglah kita karena tiga tahun lalu sekitar 870 tulisannya berhasil dihimpun ke dalam trilogi Kwik Kian Gie: Bunga Rampai Pemikiran (Gramedia Pustaka Utama, 2022).

Berisi sekitar 2.500 halaman trilogi yang penting ini adalah artefak penting yang menegaskan sejumlah karakter Kwik Kian Gie.

Pertama, ia adalah manusia langka karena penjelajahannya yang relatif lengkap. Pak Kwik adalah pengusaha yang sempat aktif menjadi politisi dengan menjadi Wakil Rakyat. Ia juga sempat menjadi pejabat publik dan bergumul di tengah birokrasi. Tapi Pak Kwik tak pernah menanggalkan identitasnya sebagai 'pendidik publik', terutama melalui tulisan-tulisannya. Sungguh tak banyak orang yang melakukan penjelajahan selengkap Pak Kwik.

Kedua, ia sungguh serius menjaga sikapnya. Kita tak menemukan jalan zig zag dalam pikiran Pak Kwik selagi menjalani peran sebagai penulis-pengusaha, wakil rakyat dan pejabat tinggi negara. Padahal di Indonesia ada semacam anggapan umum bahwa sikap jernih seseorang bakal berakhir ketika memegang kekuasaan.

Tapi pada Pak Kwik, kekuasaan ternyata tak membuntukan pikiran atau membelokkan sikapnya. Dalam konteks inilah orang akan mengenang perdebatan serius antara Kwik Kian Gie versus Sri Mulyani soal arah dan model pengelolaan kebijakan ekonomi Indonesia.

Ketiga, analisisnya tajam, masuk ke detail persoalan tanpa kehilangan desain besar. Tulisan-tulisan dalam trilogi “Bunga Rampai Pemikiran” ini membuktikan dengan telak kualitas itu.

Biasanya kita bersua dengan pola umum “mumpuni soal detail tapi miskin desain besar” atau “lancar bicara desain besar tapi luput pada soal-soal detail yang elementer”.

Almarhum WS Rendra pernah mengingatkan, “Jangan pernah silau oleh pikiran-pikiran besar sambil lupa pada remeh-temeh”. Pak Kwik termasuk sedikit orang yang memamah biak pikiran-pikiran besar sambil secara sungguh-sungguh mendalami soal-soal rincian.

Di atas segalanya, saya menemukan sosok Pak Kwik sebagai pendidik. Lewat trilogi Bunga Rampai Pemikiran Pak Kwik membuka mata kita pada soal-soal mendasar, bukan cuma pada isu-isu permukaan yang artifisial.

Sudah selayaknya namanya kemudian dipakai untuk menggantikan nama Institut Bisnis Indonesia (IBI) menjadi Kwik Kian Gie School of Business atau Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie.

Pak Kwik Berpulang

Selasa, 29 Juli 2025 pagi ini, saya  membuka Instagram (IG). Lewat akun Sandiaga Uno, bersualah saya dengan berita duka itu. Pak Kwik berpulang.

“Indonesia berduka,” tulis Sandi antara lain. Ya, Indonesia berduka, kehilangan seorang Pejuang Nasionalis yang terus memperjuangkan sikapnya hingga akhir.

Selamat jalan, Pak Kwik.

(08.57 WIB)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya