Headline

Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.

Fokus

Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.

Revisi UU P2MI: Antara Proteksi dan Patriarki

Eva K Sundari Ketua Bidang Migran DPP NasDem
29/7/2025 05:00
Revisi UU P2MI:  Antara Proteksi dan Patriarki
(MI/Duta)

REVISI Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) tampaknya kembali akan menjadi panggung teknokratis: membahas angka-angka, tanpa wajah para pelakunya. Padahal, di balik isu devisa dan diplomasi, ada soal tubuh perempuan yang disiksa, jiwa yang nestapa, rumah tangga berantakan, anak ditelantarkan di saat negara sibuk menghitung pemasukan devisa dan pengurangan angka pengangguran. Demi keadilan sosial dan kemanusiaan, revisi UU P2MI harus menggunakan perspektif feminisme Pancasila.

Revisi UU P2MI akan berkaitan dengan 29 poin perubahan dengan durasi pembahasan terbatas. Namun, di balik jargon efisiensi dan kemudahan akses keberangkatan, siapa para perempuan migran yang menjadi taruhannya? Apakah legislasi ini akan mempertebal perlindungan, atau justru memperkuat sistem yang selama ini menganggap perempuan berstatus komoditas ekonomi?

 

PEREMPUAN MIGRAN: SUBJEK, BUKAN OBJEK KOMODIFIKASI

Mayoritas pekerja migran ialah perempuan yang bekerja di sektor domestik dan informal, rawan kekerasan, dan sering tak memiliki perlindungan struktural. Solidaritas Perempuan (2023) mencatat bahwa 46% dari total 5.664 kasus pada buruh migran dari 2010 hingg 2023 terjadi pada pekerja rumah tangga perempuan—bahkan sebagian besar ialah korban perdagangan orang. Paradigma negara yang hanya melihat perempuan migran sebagai tenaga kerja ekonomis telah memicu kerentanan struktural dan traumatis yang panjang.

Jika revisi hanya berfokus pada mempercepat penempatan dan akses modal (misalnya melalui KUR), tetapi tidak membebaskan perempuan dari struktur patriarki negara yang lemah pemahamannya terhadap gender, maka perubahan ini hanya akan memperkuat status perempuan migran sebagai objek eksploitasi.

UU P2MI sejatinya memuat hak dasar migran sepanjang tahapan prakeberangkatan, perlindungan di negara tujuan, hingga reintegrasi di Tanah Air. Komnas Perempuan menekankan bahwa ketidakjelasan mekanisme pengawasan, minimnya aturan pelaksana, dan ketidakhadiran masyarakat dalam implementasi telah melemahkan substansi undang-undang sejak 2017.

Dalam draf revisi UU P2MI ada potensi praktik skrinsing eksklusif (misalnya pengampunan bagi migran nonprosedural) yang justru memberi sinyal bahwa perempuan migran yang melakukan cara informal pun tetap bisa dianggap kriminal. Ada pula ancaman pengurangan substansi tindakan hukum bagi perempuan korban trafficking, yang ironisnya memperdalam narasi patriarki dalam tata hukum.

Dalam pasal-pasal revisi yang dirancang, status pekerja rumah tangga migran masih belum disebut secara eksplisit. Beberapa pasal hanya memuat istilah yang mengaburkan profesi pekerja rumah tangga (PRT), membuat legitimasi formal terhadap pekerjaan perempuan ini rendah. Padahal, 46% dari perempuan migran bekerja sebagai PRT—dan sebagian besar mengalami pelecehan, eksploitasi, hingga trafficking.

Feminisme Pancasila menuntut agar revisi memasukkan prinsip responsif gender di seluruh pasal: dari penempatan, kontrak, akses keadilan hukum, jaminan sosial, hingga reintegrasi. Tanpa hal itu, revisi UU P2MI akan memperkuat patriarki hukum dan menutup pintu perlindungan bagi perempuan yang berposisi paling rentan.

 

NEGARA SEBAGAI RAHIM MORAL: BUKAN MANAJER PMI

Revisi UU P2MI perlu merefleksikan rekonstruksi peran negara—dari menjadi ‘manajer pengiriman tenaga kerja’ menjadi ‘ibu bangsa’ yang melindungi anak-anaknya dalam situasi paling lemah. Negara adalah rahim moral—bukan sekadar institusi administratif, melainkan pelindung yang merawat, memuliakan, dan menumbuhkan harkat kemanusiaan warganya.

Jaringan Advokasi Kawal Revisi UU PPMI menegaskan bahwa revisi yang berjalan tertutup dan terburu-buru, serta tanpa partisipasi komunitas migran, mencederai demokrasi substantif dan semangat perlindungan HAM yang seharusnya melekat dalam UU P2MI. DPR dan pemerintah harus mendesain konsultasi bermakna dengan komunitas migran. Mereka juga harus memastikan pengalaman perempuan sebagai korban trauma, trafficking, dan ketidakadilan struktural mendapat ruang dalam formulasi pasal-pasal.

Feminisme Pancasila meyakini bahwa tiadanya partisipasi publik dalam proses legislasi adalah bentuk patriarki institusional. Proses yang eksklusif, mengabaikan perempuan migran, adalah praktik komoditisasi perempuan dan tidak termasuk kategori legitimasi hukum.

Setiap pasal dalam draf revisi harus memasukkan elemen responsif gender, misalnya pelatihan trauma-informed, dukungan psikososial, kontrak yang transparan, akses layanan hukum, serta reintegrasi sosial yang inklusif—sejak pendaftaran hingga kembali ke Tanah Air.

Revisi juga harus memastikan badan layanan umum (BLU) di bawah kementerian tidak berfokus pada penempatan saja. BLU juga harus berfungsi memfasilitasi advokasi hukum dan perlindungan korban secara independen dan akuntabel, tanpa benturan kepentingan antara fungsi komersial dan perlindungan korban

Pelibatan komunitas migran—terutama perempuan—dalam proses legislasi sepatutnya bukan tokenisme. Praktik-praktik baik inisiatif Desbumi dan Migrant Care untuk komunitas lokal seperti di Bawean, Jember, dan Lombok Tengah perlu dihargai dan disertakan secara nyata dalam draf undang-undang.

Revisi harus pula memperluas jaminan sosial sebagaimana diusulkan Jaringan Advokasi Kawal Revisi UU PPMI. BPJS Ketenagakerjaan diharapkan memperluas pelayanan hingga pemberian pensiun bagi PMI. Bersama BPJS Kesehatan untuk PMI, keduanya harus dapat memberi jaminan restitusi dan kompensasi korban trafficking secara sungguh sungguh.

 

KACAMATA MORAL DAN POLITIK

Menurut Feminisme Pancasila, revisi UU PPMI tidak boleh terjebak dalam dualitas proteksi versus pasar. Feminisme Pancasila menawarkan perspektif bahwa negara itu adalah rahim moral—tempat perempuan migran dimuliakan, bukan dimanipulasi. Adalah feminisme yang membumikan Pancasila sebagai dasar perlindungan perempuan: tidak sekadar administratif, tetapi rohani, sosial, dan spiritual.

Jika revisi mengarusutamakan protokol, birokrasi, dan modal KUR tanpa menafsir ulang kewajiban moral negara terhadap perempuan migran, maka ia tak lebih dari patriarki terkodifikasi.

Jika mau, revisi UU P2MI bisa menjadi momentum transformatif untuk mengadopsi sudut pandang feminis—bukan pragmatisme teknokratik. Jika revisi tidak merefleksikan pengalaman perempuan migran serta menanam nilai keadilan, spiritualitas, dan empati dalam bentuk norma hukum, maka kita hanya mengganti baju, tetapi isinya tetap: komoditisasi PMI.

Revisi UU P2MI adalah ujian moral: Apakah kita sudah bergerak menuju negara yang menjunjung harkat perempuan dengan prinsip keadilan sosial dan kasih? Ataukah kita tetap pada sistem patriarki hukum yang menempatkan perempuan PMI sebagai objek kekuasaan ekonomi oleh negara?

Pertanyaan akhir untuk kita semua: apakah kita mau menjadi bangsa yang menulis hukum di atas penderitaan perempuan, atau hukum yang menebus dan menyembuhkan luka mereka? Ayo merevisi UU P2MI pakai nurani.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya