Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
NAMANYA Fidela Marwa Huwaida. Ia Presiden Keluarga Mahasiswa ITB Bandung. Karena masih mahasiswa di jenjang sarjana, jelas usianya masih masuk kategori generasi Z. Sah belaka bila ia mewakili zamannya.
Fidela dan para mahasiswa dari berbagai kampus termasuk yang ikut dalam gerakan tagar #IndonesiaGelap. Hari-hari ini ia sibuk menjawab dan berargumentasi ihwal gerakan para mahasiswa. Berbagai pertanyaan, bahkan gugatan, muncul. "Apa makna Indonesia gelap?", "Apakah Indonesia benar-benar gelap?", "Siapa yang gelap? Indonesia atau kalian?"
Saat menanggapi pertanyaan dan gugatan itu, Fidela mengungkapkan aksi tagar dan demonstrasi bertajuk #IndonesiaGelap itu sebagai akumulasi kemarahan. Siapa yang marah? "Rakyat dan mahasiswa. Bukan hanya mahasiswa, melainkan juga komponen masyarakat sipil. Rakyat marah karena kebijakan pemerintah hari ini yang serampangan. Kebijakan itu menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan," ujarnya dalam sebuah acara bincang-bincang yang disiarkan melalui kanal Youtube.
Fidela menyebutkan sejumlah kebijakan yang tiba-tiba muncul, begitu diprotes, lalu dicabut dengan narasi heroik seolah-olah jadi pahlawan. "Tidak ada kepastian, apakah berbagai kebijakan yang tidak prorakyat itu bakal ditiadakan seterusnya atau sekadar membuat tenang sementara. Soal efisiensi juga perlu konsistensi. Apakah kabinet yang gemuk itu contoh efisiensi? Jadi ini akumulasi. Aksi kami ialah demi menuntut evaluasi besar-besaran kebijakan yang tidak prorakyat itu," Fidela menjelaskan secara runut argumentasinya di forum itu.
Itulah bahasa khas anak muda: lugas, terbuka, keras, mungkin terasa ekstrem bagi sebagian kalangan. Menjadi kelaziman pula bila mereka yang menjadi tujuan kritik merasa panas kuping oleh suara keras, terbuka, dan lugas itu. Karena itu, ada yang merespons secara keras dan berdiri di titik ekstrem sebaliknya. Namun, ada yang menanggapinya dengan lebih adem.
Yang keras dan ekstrem itu, misalnya, yang mengatakan, "Bukan Indonesia yang gelap. Kau dan kalian yang menyebut Indonesia gelap itulah yang sejatinya gelap."
Namun, juru bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan Ujang Komarudin membuat narasi tandingan dengan lebih adem. Ia membantah bahwa Indonesia gelap dengan menyebut Indonesia saat ini terang benderang. Menurut dia, hal tersebut bisa terlihat dari sejumlah indikasi, salah satunya pendidikan yang masih menjadi prioritas pemerintah.
"Indonesia ini masih bercahaya, masih terang benderang, tidak ada hal-hal yang gelap. Yang pertama, indikasinya adalah pendidikan menjadi prioritas pemerintah, tidak ada pemangkasan apa pun. Jadi, beasiswa tetap diberikan kepada yang berhak. Kemudian, UKT (uang kuliah tunggal) tidak ada kenaikan," ujar Ujang, yang sebelum jadi juru bicara aktif sebagai dosen itu.
Lalu, indikasi selanjutnya ialah kesehatan rakyat yang menjadi agenda penting negara. Ujang menyebut rakyat kini bisa mengecek kesehatan mereka secara gratis. Indikasi ketiga, lanjut Ujang, pemerintah mengalihkan anggaran yang berpotensi bocor untuk program yang bermanfaat bagi rakyat.
Dia menyebut efisiensi dari alat tulis kantor (ATK) saja bisa mencapai Rp40 triliun, yang bisa dimanfaatkan untuk membeli gabah petani sehingga bisa menyelamatkan jutaan petani di seluruh Indonesia. Lalu yang keempat, ekonomi Indonesia semakin kuat ada di atas rata-rata capaian ekonomi dunia.
Dia mengeklaim angka kemiskinan di Indonesia pun menurun ekstrem. "Terakhir, paket stimulus ekonomi di Ramadan sudah di-publish oleh Bapak Presiden. Jadi, kami yakin apa yang dilakukan Bapak Prabowo untuk terus menjadikan Indonesia tetap terang benderang, tidak ada istilah gelap," imbuh Ujang.
Kiranya debat dua narasi di titik ekstrem itu bagus, tapi mesti ditarik ke tengah untuk ditemukan titik keseimbangan. Sekadar berebut narasi 'gelap' melawan 'terang' tidak akan ditemukan ujungnya. Ia memang memberi pelajaran penting tentang pentingnya perdebatan untuk checks and balances, tapi bisa 'terjerumus' ke dalam debat kusir bila tidak ditanggapi secara bijak.
Situasi itu mengingatkan saya seperti di era 1990-an, di era Orde Baru. Saat itu, cendekiawan Nurcholish Madjid mengibaratkan 'Indonesia sedang berada dalam terowongan gelap yang belum diketahui ada cahaya di ujungnya'. Ketika itu, Cak Nur juga menyebut Indonesia dalam situasi grid lock, atau saling mengunci.
Cak Nur mengibaratkan posisi saling mengunci itu layaknya lampu lalu lintas yang mati di perempatan, di tengah jalanan yang ramai dan tak ada polisi yang mengatur. Karena itu, semua kendaraan berebut saling mendahului, tidak ada yang mau mengalah. Mereka saling membunyikan klakson keras-keras. Namun, justru kondisi saling mengunci yang terjadi, bukannya kemacetan yang terurai.
Pada situasi seperti itu, yang dibutuhkan ialah adanya pihak yang ikhlas turun dari kendaraan untuk mengatur lalu lintas sehingga semua kendaraan pelan-pelan bisa berjalan kembali. Jadi, hal yang sama terjadi pada perdebatan soal gelap dan terang Indonesia ini. Yang dibutuhkan bukan berebut, atau bahkan memonopoli, narasi. Mesti ada 'keikhlasan' kedua pihak untuk tidak berdiri di posisi ekstrem masing-masing agar tidak terjadi grid lock.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.
"LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.
SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.
HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.
ADA benarnya pernyataan Sukarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
KOPERASI itu gerakan. Ibarat klub sepak bola, gerakan koperasi itu mirip klub Barcelona. Klub dari Catalan, Spanyol, itu dari rakyat dan milik rakyat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved