Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
PADA Sabtu, 26 Juli 1975, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar acara Ulang Tahun (Milad) yang ke-50 di Asrama Haji Pondok Gede. Rencananya akan dihadiri Presiden Prabowo Subianto, tapi karena beliau ada acara lain, Milad MUI pun tanpa kehadiran orang nomor satu di Republik ini.
Kita maklum, meskipun acara Milad Setengah Abad sangat penting, mungkin karena MUI bukan partai politik, juga bukan ormas yang memiliki jutaan anggota, jadi kurang layak menjadi prioritas untuk dihadiri para pimpinan partai politik. Kita tahu, Presiden ialah salah satu pimpinan partai politik.
Namun, alhamdulillah, tanpa kehadiran Presiden pun acara Milad MUI berjalan khidmat dan sarat makna. Salah satu yang patut disimak ialah tayangan cuplikan perjalanan MUI selama lima dekade dengan berbagai peran yang telah dilaluinya, terutama dalam mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia.
Dalam rentang waktu setengah abad, MUI telah menjelma dari lembaga normatif menjadi pusat otoritatif dalam bidang fatwa ekonomi syariah dengan memainkan peran epistemik dalam pembentukan regulasi nasional serta turut memengaruhi kebijakan negara dan dunia usaha (terutama industri halal) melalui Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI).
Kiprah MUI dalam menembangkan ekonomi syariah dimulai jauh sebelum reformasi. Sebagaimana dicatat Prof Dr KH Hasanudin, MAg (Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI), pada 19-22 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan lokakarya tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya itu kemudian dibahas pada Munas ke-4 MUI di Hotel Syahid Jakarta, 22-25 Agustus 1990, yang mengamanatkan pembentukan Tim Perbankan MUI untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
Dari kerja keras tim inilah lahir Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 November 1991--bank syariah pertama di Indonesia. Yang menarik, untuk memperoleh legitimasi hukum, pimpinan MUI saat itu, KH Hasan Basri (Ketua Umum) dan KH Ibrahim Hosen (Ketua Komisi Fatwa), menghadap langsung Presiden Soeharto untuk meminta payung hukum bagi perbankan syariah. Upaya itu membuahkan UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang membuka ruang legal bagi praktik perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil.
Lebih konkret lagi, PP No 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip bagi Hasil dalam Pasal 5 secara eksplisit menyebut MUI sebagai lembaga konsultasi pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Itu menjadi dasar formil regulasi pertama yang memberikan legitimasi kepada MUI untuk mengawasi perbankan syariah--suatu bentuk praksis keagamaan yang mendahului pengakuan formal negara.
Dalam perspektif ilmu ekonomi Islam, kontribusi MUI dapat dilihat sebagai wujud dari gagasan al-maslahah al-ammah (kemaslahatan umum), sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali (1058-1111) atau Imam Shatibi (wafat 1388) bahwa agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta merupakan lima tujuan utama (maqashid al-shari'ah) yang harus dilindungi dalam setiap kebijakan.
Setelah Bank Muamalat beroperasi, kebutuhan akan otoritas fatwa ekonomi syariah semakin mendesak. Pada 29-30 Juli 1997, MUI menyelenggarakan Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah di Jakarta yang merekomendasikan pembentukan lembaga otoritas fatwa ekonomi syariah. Setelah dua tahun persiapan, lahirlah DSN-MUI melalui SK No Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999.
DSN-MUI dibentuk untuk merespons aspirasi umat Islam yang merindukan fatwa, pedoman, dan bimbingan ulama dalam bidang keuangan agar aktivitas ekonomi dapat dijalankan sesuai prinsip syariah. Ketika MUI memutuskan membentuk DSN pada 1999, ia sesungguhnya tengah merumuskan ulang peran ulama sebagai penjaga etika ekonomi modern.
LEGITIMASI YANG SEMAKIN KUAT
Kewenangan DSN-MUI kini telah mendapat pengakuan resmi melalui berbagai regulasi nasional. Pengakuan terbaru dan paling komprehensif diberikan melalui UU No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Dalam Pasal 1 angka 24, ditegaskan bahwa prinsip syariah ialah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Penjelasan Pasal 337 huruf h UU PPSK secara eksplisit menyatakan bahwa lembaga tersebut ialah MUI.
Legitimasi itu diperkuat oleh regulasi fundamental lainnya: UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Pasal 26), UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan UU No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Bahkan, UU PPSK menjamin simpanan berdasarkan akad mudharabah sesuai dengan fatwa DSN-MUI oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sejak awal berdiri, DSN-MUI telah diterbitkan lebih dari 160 fatwa ekonomi syariah yang menjadi referensi utama dalam operasional bagi lembaga keuangan syariah, lembaga perekonomian syariah dan lembaga bisnis syariah. Fatwa-fatwa seperti murabahah, mudharabah, ijarah, sukuk, wakaf uang, serta fintech syariah menjadi dasar regulasi formal di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Produktivitas DSN-MUI tidak hanya terbatas pada fatwa, tetapi juga mencakup berbagai instrumen regulatif lainnya seperti menerbitkan 110 pernyataan kesesuaian syariah kepada berbagai otoritas dan lembaga, termasuk DSAS-IAI untuk Pedoman Standar Akuntansi Syariah (PSAK), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu untuk penerbitan SBSN, serta Bank Indonesia untuk Sukuk BI dan PKAK.
Selain itu, DSN-MUI telah mengeluarkan 7 taklimat (surat edaran) yang bersifat imbauan untuk implementasi fatwa, dan 72 sertifikat syariah untuk berbagai sektor seperti penjualan langsung berjenjang syariah (12 buah), teknologi informasi (23 buah), bank kustodian (3 buah), hotel dan wisata (4 buah), serta rumah sakit syariah (30 buah).
Yang penting dicatat, fatwa DSN-MUI memiliki karakteristik unik dalam konteks hukum Islam Indonesia. Sebagaimana dijelaskan KH Ma'ruf Amin, fatwa pada dasarnya bersifat kasuistik dan tidak memiliki daya ikat kecuali jika diperkuat oleh peraturan perundang-undangan. Namun, melalui berbagai regulasi nasional, fatwa-fatwa DSN-MUI telah memperoleh kekuatan mengikat bagi industri keuangan syariah, menjadikannya berbeda dari fatwa-fatwa keagamaan pada umumnya.
INSFRASTRUKTUR KELEMBAGAAN
Kontribusi lain MUI dalam penguatan infrastruktur kelembagaan ekonomi syariah ialah dibentuknya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika MUI (LPPOM-MUI) yang berperan dalam standarisasi halal untuk menopang ekonomi halal nasional, serta Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat yang menggagas berbagai program pemberdayaan UMKM dan pelatihan literasi keuangan syariah.
DSN-MUI kini memiliki struktur kelembagaan komprehensif dengan perangkat internal (Badan Pengawas, Badan Pengurus, dan Badan Pelaksana Harian) dan perangkat eksternal yang mencakup lima profesi penunjang strategis: (1) Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang tersebar di lebih dari 1.400 lembaga keuangan dan bisnis syariah untuk mengawasi implementasi fatwa; (2) ahli syariah pasar modal (ASPM) yang bertugas memberikan nasihat dan pengawasan di sektor pasar modal syariah; (3) tim ahli syariah (TAS) sebagai tim ad hoc untuk produk-produk spesifik; (4) penasihat syariah di berbagai lembaga, otoritas, dan badan pengelola; serta (5) komite syariah yang memberikan nasihat dan opini syariah agar sejalan dengan fatwa DSN-MUI.
Struktur itu dilengkapi dengan Sekretariat DSN-MUI Perwakilan di delapan provinsi dan DSN-MUI Institute yang bertugas melakukan sosialisasi, edukasi, dan kajian implementasi fatwa.
Dalam hal ini, MUI seolah menjawab tantangan Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah bahwa kesejahteraan suatu bangsa ditentukan oleh kekuatan moral dan ekonomi umatnya. Artinya, kekuatan MUI bukan hanya sebagai morality enforcer, melainkan juga sebagai social transformer.
DILEMA
Sebagai bagian dari ekosistem keuangan nasional, DSN-MUI menghadapi dilema dalam hubungannya dengan negara. Kedekatan dengan pemerintah memberikan legitimasi dan dukungan implementasi fatwa, tapi di sisi lain dapat menimbulkan persepsi ketidakmandirian. DSN-MUI harus menjadi shadiqul hukumah (mitra pemerintah) tanpa kehilangan independensi dan daya kritisnya.
Tantangan lain ialah perlunya memperluas keterwakilan berbagai elemen masyarakat dalam kepengurusan, termasuk ekonom, ahli hukum, sosiolog, dan perwakilan konsumen lembaga keuangan syariah, untuk memperkaya perspektif dalam pembahasan fatwa.
Dalam konteks global, pendekatan MUI memiliki nilai tawar tersendiri. Model integrasi fatwa dengan regulasi di Indonesia berbeda dengan Malaysia yang lebih mengedepankan otoritas negara atau negara-negara Timur Tengah yang lebih kaku dalam pendekatan fikih. Pendekatan fleksibel dan berbasis maslahat oleh MUI menjadikan Indonesia sebagai role model dalam pengembangan sistem keuangan syariah yang adaptif dan progresif. Inilah yang membuat berbagai lembaga internasional seperti IFSB, AAOIFI, dan IDB mengakui model Indonesia sebagai contoh pluralisme hukum Islam yang kompatibel dengan sistem negara-bangsa modern.
AGENDA KE DEPAN
Pada usia emas ini, MUI seharusnya tidak hanya berhenti sebagai lembaga penjaga ortodoksi, tetapi juga menjadi agen perubahan yang visioner. Perlu ada penguatan fungsi riset dalam setiap fatwa, pelibatan publik dalam proses deliberatif, serta kolaborasi dengan universitas, pelaku industri, dan komunitas akar rumput. MUI juga perlu menguatkan platform digital agar fatwa-fatwanya mudah diakses, dipahami, dan diinternalisasi oleh generasi muda muslim yang semakin kritis dan digital-native.
Globalisasi ekonomi, revolusi digital, perubahan iklim, dan dinamika geopolitik global akan membawa tantangan-tantangan baru yang harus direspons dengan fatwa-fatwa yang relevan, kontekstual, tapi tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah yang abadi. DSN-MUI harus menjadi lembaga yang adaptif, responsif, tapi tetap berprinsip.
Keberadaan UU No 4 Tahun 2023 tentang PPSK memberikan fondasi yang lebih kokoh bagi DSN-MUI untuk menjalankan perannya dengan legitimasi yang semakin kuat dalam sistem keuangan dan ekonomi nasional.
Jika ditarik ke belakang, amanat Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah menyatakan bahwa salah satu tanggung jawab kepemimpinan keagamaan ialah menjaga keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai syariah. Dalam konteks ini, MUI telah dan harus terus mengambil peran strategis sebagai penjaga integritas ekonomi Islam di tengah kompleksitas dunia modern.
MUI harus terus bergerak dari lembaga fatwa menjadi pusat solusi umat dari menara keulamaan ke jantung masyarakat. Lima dekade telah berlalu dan masa depan ekonomi syariah Indonesia sangat bergantung pada kemampuan MUI untuk menjawab tantangan zaman dengan integritas dan visi profetik. Wallahualam.
Fokus utama expo kali ini adalah penguatan ekosistem halal dan pengenalan layanan unggulan BSI Bank Emas.
Kehadiran BPKH dalam Global Islamic Financial Institutions Forum 2025 di Dubai menjadi platform penting untuk memperkuat kolaborasi internasional dalam memajukan ekonomi syariah.
MASYARAKAT modern di perkotaan telah mengenal gaya hidup yang menerapkan prinsip islami, tidak hanya makanan, tetapi juga gaya berpakaian, wisata, dan bahkan perbankan.
Strategi pemanfaatan ekonomi syariah dalam lima tahun ke depan akan difokuskan untuk pengembangan sektor pariwisata halal.
Sejarah mencatat, sejak lama halalbihalal telah menjadi tradisi khas Indonesia yang mengisi ruang-ruang sosial pasca-Idul Fitri pada bulan Syawal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved