Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
IHWAL nasionalisme menjadi soal hari-hari ini. Ia dipertanyakan, menjadi ajang perdebatan, setelah tanda pagar alias tagar #KaburAjaDulu trending di media sosial.
Sebagai verba (kata kerja), kabur berarti berlari cepat-cepat, melarikan diri, meninggalkan tugas (pekerjaan, keluarga, dan sebagainya) tanpa pamit, atau menghilang. Dalam tagar #KaburAjaDulu ia menjelaskan fenomena anak muda yang meninggalkan Tanah Air. Kenapa mereka kabur? Tidak nasionaliskah mereka?
Bahwa banyak anak muda yang hengkang ke negara orang sebenarnya bukan barang baru. Tidak sedikit yang sudah lama memilih jalan itu. Pada Juli 2023, misalnya, ramai diberitakan ribuan warga Indonesia hijrah ke 'Negeri Singa'. Dirjen Imigrasi Silmy Karim kala itu memaparkan ada 3.912 WNI beralih status menjadi WN Singapura sepanjang 2019-2022. Mereka berpendidikan tinggi dan berusia produktif.
Kalau perihal kabur kali ini lebih heboh, mendapat atensi supertinggi, ya karena tagar #KaburAjaDulu yang terus beresonansi tadi. Tagar yang merepresentasikan kegelisahan, bahkan perlawanan, terhadap situasi negeri sendiri yang dinilai semakin sulit untuk mewujudkan mimpi. Tagar menjadi luapan ekspresi pesimisme generasi muda terhadap kondisi dalam negeri lalu melirik peluang masa depan yang lebih terang di negeri orang.
Jika bertahan di tanah kelahiran, mereka merasa sulit mendapatkan pekerjaan yang layak, yang mapan. Jika tidak nekat pergi, mereka cemas masa depan akan suram, kelam. Sudah sulit kerja, yang telah bekerja pun teramat banyak yang di-PHK.
Itulah yang melatari anak-anak muda beralih jadi WN Singapura demi sebuah harapan. Soal pendapatan, misalnya, Salary Explorer memaparkan rerata gaji di Indonesia Rp12,1 juta dengan nilai terendah Rp3 juta dan tertinggi Rp54 juta. Bandingkan dengan di Singapura yang rata-ratanya Rp94 juta dengan rentang terendah Rp24 juta dan tertinggi lebih dari Rp420 juta. Betul bahwa biaya hidup di sana lebih mahal, tapi jika dikalkulasi, tetap lebih menjanjikan.
Kisah seorang anak muda di medsos ini juga bisa jadi gambaran. Untuk kuliah dan menjadi sarjana, dia mengaku habis sekira Rp150 juta. Itu pun mesti utang sana utang sini. Namun, setelah lulus, dia cuma menjadi guru honorer dengan bayaran Rp1,2 juta per bulan. Karena harus terus hidup, dia memilih kabur ke Taiwan. Tak masalah meski kerja serabutan, yang penting mendapatkan jauh lebih banyak pemasukan.
Pepatah kuno lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang kiranya sudah usang. Prinsip mangan orang mangan sing penting ngumpul (makan tidak makan yang penting berkumpul) tak lagi relevan dengan zaman.
Tak melulu soal ekonomi atau sulitnya mendapat pendidikan dan pekerjaan. Urusan politik, polah para pengelola negara, juga disebut memicu #KaburAjaDulu. Mereka kiranya sudah jengah betul dengan korupsi yang kian mewabah, ketidakadilan di mana-mana, syahwat kekuasaan yang kelewat takaran. Sikap elite yang lebih mementingkan pribadi dan golongan ketimbang mengurusi rakyat membuat mereka muak.
Bisa diterimakah sikap anak-anak muda itu? Oleh sebagian pejabat, tidak. Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer salah satunya. Dia memang mengaku tak peduli, tapi kiranya ada aroma emosional saat memberikan tanggapan. Dia bilang kalau mau kabur, kabur sajalah, lalu mengatribusi dengan kalimat 'kalau perlu, jangan balik lagi'.
Sikap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia juga jadi sorotan. Video lawasnya diviralkan. Bahlil bilang, '“Kalau teman-teman berpikir untuk pindah ke luar negeri, saya malah meragukan nasionalisme kalian. Kita merebut kemerdekaan ini lewat perjuangan. Orangtua kita dalam merebut kemerdekaan ini banyak yang diperkosa, banyak yang dibunuh, banyak yang disuruh kerja rodi. Tujuannya adalah kelak anak cucunya bisa membawa negara dengan baik.''
Meragukankah nasionalisme anak-anak muda yang kabur ke mancanegara? Istilah nasionalisme pertama kali digunakan filsuf Jerman Johann Gottlieb Fichte pada 1808. Dalam karyanya, Reden an die Deutsche Nation (Pidato kepada Bangsa Jerman), dia mempromosikan ide tentang kesadaran nasional dan identitas bangsa.
Istilah itu kemudian dipopulerkan Giuseppe Mazzini, aktivis Italia yang memperjuangkan penyatuan Italia. Juga oleh Ernest Renan, filsuf Prancis dalam Qu'est-ce Qu'une Nation? (Apa itu Suatu Bangsa?). Di sini, nasionalisme digunakan para pemikir dan aktivis seperti Sukarno, Bung Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Mereka mempromosikan ide tentang kesadaran nasional dan identitas bangsa Indonesia.
Saya lebih memilih untuk tidak meragukan nasionalisme para anak muda itu. Nasionalisme tak bisa dibatasi sekadar garis peta. Yang di mancanegara bukan berarti tak lagi cinta Indonesia, sayang kepada bangsanya.
Kendati hidup di belahan dunia yang lain, saya yakin, haqqul yakin, kadar nasionalisme mereka jauh lebih tinggi ketimbang banyak orang yang tak ke mana-mana, tapi perilakunya merusak negara. Mereka yang hobi korupsi, yang semena-mena pada sesama, yang sesukanya mengaveling daratan dan lautan, yang merusak konstitusi, membangun dinasti, atau yang kelebihan nafsu untuk terus berkuasa.
Kata para bijak, jangan tanya soal nasionalisme kepada rakyat biasa, tapi bertanyalah ke penguasa. Jangan tanya nasionalisme orang-orang yang kabur ke mancanegara, tapi tanyalah kenapa mereka pergi. Setelah itu, berikan jawaban yang dapat menggaransi mereka bisa merajut mimpi di negeri sendiri.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.
"LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.
SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.
HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.
ADA benarnya pernyataan Sukarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved