Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
IHWAL nasionalisme menjadi soal hari-hari ini. Ia dipertanyakan, menjadi ajang perdebatan, setelah tanda pagar alias tagar #KaburAjaDulu trending di media sosial.
Sebagai verba (kata kerja), kabur berarti berlari cepat-cepat, melarikan diri, meninggalkan tugas (pekerjaan, keluarga, dan sebagainya) tanpa pamit, atau menghilang. Dalam tagar #KaburAjaDulu ia menjelaskan fenomena anak muda yang meninggalkan Tanah Air. Kenapa mereka kabur? Tidak nasionaliskah mereka?
Bahwa banyak anak muda yang hengkang ke negara orang sebenarnya bukan barang baru. Tidak sedikit yang sudah lama memilih jalan itu. Pada Juli 2023, misalnya, ramai diberitakan ribuan warga Indonesia hijrah ke 'Negeri Singa'. Dirjen Imigrasi Silmy Karim kala itu memaparkan ada 3.912 WNI beralih status menjadi WN Singapura sepanjang 2019-2022. Mereka berpendidikan tinggi dan berusia produktif.
Kalau perihal kabur kali ini lebih heboh, mendapat atensi supertinggi, ya karena tagar #KaburAjaDulu yang terus beresonansi tadi. Tagar yang merepresentasikan kegelisahan, bahkan perlawanan, terhadap situasi negeri sendiri yang dinilai semakin sulit untuk mewujudkan mimpi. Tagar menjadi luapan ekspresi pesimisme generasi muda terhadap kondisi dalam negeri lalu melirik peluang masa depan yang lebih terang di negeri orang.
Jika bertahan di tanah kelahiran, mereka merasa sulit mendapatkan pekerjaan yang layak, yang mapan. Jika tidak nekat pergi, mereka cemas masa depan akan suram, kelam. Sudah sulit kerja, yang telah bekerja pun teramat banyak yang di-PHK.
Itulah yang melatari anak-anak muda beralih jadi WN Singapura demi sebuah harapan. Soal pendapatan, misalnya, Salary Explorer memaparkan rerata gaji di Indonesia Rp12,1 juta dengan nilai terendah Rp3 juta dan tertinggi Rp54 juta. Bandingkan dengan di Singapura yang rata-ratanya Rp94 juta dengan rentang terendah Rp24 juta dan tertinggi lebih dari Rp420 juta. Betul bahwa biaya hidup di sana lebih mahal, tapi jika dikalkulasi, tetap lebih menjanjikan.
Kisah seorang anak muda di medsos ini juga bisa jadi gambaran. Untuk kuliah dan menjadi sarjana, dia mengaku habis sekira Rp150 juta. Itu pun mesti utang sana utang sini. Namun, setelah lulus, dia cuma menjadi guru honorer dengan bayaran Rp1,2 juta per bulan. Karena harus terus hidup, dia memilih kabur ke Taiwan. Tak masalah meski kerja serabutan, yang penting mendapatkan jauh lebih banyak pemasukan.
Pepatah kuno lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang kiranya sudah usang. Prinsip mangan orang mangan sing penting ngumpul (makan tidak makan yang penting berkumpul) tak lagi relevan dengan zaman.
Tak melulu soal ekonomi atau sulitnya mendapat pendidikan dan pekerjaan. Urusan politik, polah para pengelola negara, juga disebut memicu #KaburAjaDulu. Mereka kiranya sudah jengah betul dengan korupsi yang kian mewabah, ketidakadilan di mana-mana, syahwat kekuasaan yang kelewat takaran. Sikap elite yang lebih mementingkan pribadi dan golongan ketimbang mengurusi rakyat membuat mereka muak.
Bisa diterimakah sikap anak-anak muda itu? Oleh sebagian pejabat, tidak. Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer salah satunya. Dia memang mengaku tak peduli, tapi kiranya ada aroma emosional saat memberikan tanggapan. Dia bilang kalau mau kabur, kabur sajalah, lalu mengatribusi dengan kalimat 'kalau perlu, jangan balik lagi'.
Sikap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia juga jadi sorotan. Video lawasnya diviralkan. Bahlil bilang, '“Kalau teman-teman berpikir untuk pindah ke luar negeri, saya malah meragukan nasionalisme kalian. Kita merebut kemerdekaan ini lewat perjuangan. Orangtua kita dalam merebut kemerdekaan ini banyak yang diperkosa, banyak yang dibunuh, banyak yang disuruh kerja rodi. Tujuannya adalah kelak anak cucunya bisa membawa negara dengan baik.''
Meragukankah nasionalisme anak-anak muda yang kabur ke mancanegara? Istilah nasionalisme pertama kali digunakan filsuf Jerman Johann Gottlieb Fichte pada 1808. Dalam karyanya, Reden an die Deutsche Nation (Pidato kepada Bangsa Jerman), dia mempromosikan ide tentang kesadaran nasional dan identitas bangsa.
Istilah itu kemudian dipopulerkan Giuseppe Mazzini, aktivis Italia yang memperjuangkan penyatuan Italia. Juga oleh Ernest Renan, filsuf Prancis dalam Qu'est-ce Qu'une Nation? (Apa itu Suatu Bangsa?). Di sini, nasionalisme digunakan para pemikir dan aktivis seperti Sukarno, Bung Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Mereka mempromosikan ide tentang kesadaran nasional dan identitas bangsa Indonesia.
Saya lebih memilih untuk tidak meragukan nasionalisme para anak muda itu. Nasionalisme tak bisa dibatasi sekadar garis peta. Yang di mancanegara bukan berarti tak lagi cinta Indonesia, sayang kepada bangsanya.
Kendati hidup di belahan dunia yang lain, saya yakin, haqqul yakin, kadar nasionalisme mereka jauh lebih tinggi ketimbang banyak orang yang tak ke mana-mana, tapi perilakunya merusak negara. Mereka yang hobi korupsi, yang semena-mena pada sesama, yang sesukanya mengaveling daratan dan lautan, yang merusak konstitusi, membangun dinasti, atau yang kelebihan nafsu untuk terus berkuasa.
Kata para bijak, jangan tanya soal nasionalisme kepada rakyat biasa, tapi bertanyalah ke penguasa. Jangan tanya nasionalisme orang-orang yang kabur ke mancanegara, tapi tanyalah kenapa mereka pergi. Setelah itu, berikan jawaban yang dapat menggaransi mereka bisa merajut mimpi di negeri sendiri.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved