Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
PREMAN memeras mungkin sudah biasa. Meskipun salah di mata hukum, tindakan itu memang salah satu 'aktivitas' yang biasa mereka lakukan. Memeras atau memalak berada di level kriminal yang sama dengan mencuri, mencopet, merampok, membegal, atau menggarong. Di zona itulah para preman menguasai arena permainan.
Namun, bagaimana kalau yang melakukan pemerasan itu bukan preman, melainkan aparatur negara? Ternyata tidak ada bedanya. Rupanya pemerasan sudah biasa juga mereka lakukan. Lebih celaka lagi, para aparatur itu memeras dengan menggunakan kewenangan yang mereka punya sebagai tameng sekaligus senjata. Barangkali ini yang disebut aparat pemeras atau aparat berkelakuan preman.
Alih-alih memaksimalkan posisi dan jabatan sebagai pelayan publik, para aparat seperti itu justru tak sungkan mempersulit dan menyengsarakan rakyat dengan memelihara kelakuan layaknya tukang peras. Bahkan dalam beberapa kasus, tak cuma warga domestik yang jadi sasaran mereka, warga negara asing pun mereka sikat.
Dari sejumlah kasus yang dalam beberapa waktu belakangan ini mencuat dan viral, pemerasan oleh aparat di Indonesia kiranya sudah sedemikian akut. Tabiat buruk itu boleh jadi sudah mengakar sejak dulu, tapi harus diakui apa yang dipertontonkan kepada publik akhir-akhir ini kian meresahkan dan mengkhawatirkan.
Kita ambil saja beberapa contoh. Yang pertama sangat kondang kasusnya, yakni pemerasan yang dilakukan Firli Bahuri yang ketika itu menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Firli diduga memeras Syahrul saat menangani kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian.
Sungguh memprihatinkan, seorang ketua lembaga antirasuah, kok, malah jadi tersangka tindak pidana korupsi berupa pemerasan. Lebih miris lagi, Firli yang ditetapkan sebagai tersangka pada 22 November 2023 sampai saat ini tak kunjung ditahan. Entah dengan privilese apa, si pejabat pemeras itu masih bisa menikmati udara bebas hingga kini.
Contoh kedua tak kalah bikin emosi, yaitu pemerasan yang dilakukan belasan polisi terhadap warga negara Malaysia yang datang menonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 di JI Expo, Kemayoran, Jakarta. Mereka, para turis Malaysia itu, diperas dengan modus ancaman tuduhan penyalahgunaan narkoba. Ujung-ujungnya mereka dimintai uang tebusan dengan nilai total hingga miliaran rupiah.
Siapa pun yang mengikuti kasus yang viral pada tahun lalu itu pasti akan berujar, "Edan!" Bagaimana enggak edan; pemerasnya aparatur negara, yang diperas warga asing, nilai pemerasannya pun sampai sebesar itu.
Akal sehat jelas tak bisa mencerna hal itu. Nalar normal tentu tak bisa menerima. Namun, itulah yang terjadi, nilai-nilai moral yang seharusnya dipegang teguh para polisi itu kiranya dengan mudahnya mereka tanggalkan. Negara pun akhirnya ikut menanggung malu atas laku lancung mereka.
Contoh berikutnya nyaris serupa, sama-sama bikin malu satu Republik. Kali ini pemerasan diduga dilakukan petugas imigrasi kepada warga negara Tiongkok di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten. Pada kasus itu Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok di Indonesia bahkan sampai mengirimkan surat 'aduan' ke Kementerian Luar Negeri serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
Kedubes Tiongkok menjelaskan daftar kasus pemerasan yang mereka laporkan itu terjadi hanya selama setahun terakhir, dari Februari 2024 hingga Januari 2025. Mereka meyakini lebih banyak lagi warga negara Tiongkok yang diperas, tapi tidak mengajukan pengaduan karena jadwal ketat atau takut akan pembalasan saat masuk pada masa mendatang.
Tak perlu susah-susah mengartikan, surat itu jelas mengindikasikan 'kemarahan' yang sudah tak bisa ditahan pemerintah Tiongkok saat menyaksikan warga mereka terus diperlakukan buruk oleh aparat Indonesia. Mereka datang ke Indonesia mau membelanjakan uang dengan berwisata atau berbisnis, lha kok malah dicegat duluan di pintu imigrasi dan dipalak. Apa kata dunia?
Kalau mau dideretkan, masih banyak lagi kasus pemerasan yang melibatkan aparatur negara. Satu lagi contoh terbaru, belum lama ini dua polisi di Semarang kedapatan main peras terhadap dua sejoli remaja di Pantai Marina, Semarang, Jawa Tengah. Kedua pelaku menakut-nakuti korban dengan tuduhan melakukan tindak pidana asusila kemudian meminta sejumlah uang agar tidak diproses secara hukum. Korban terpaksa memberikan uang Rp2,5 juta.
Ada apa dengan negeri ini? Aparat negara yang semestinya bekerja memeras keringat mengayomi dan melayani warga malah memilih profesi baru sebagai tukang peras rakyat. Mereka rela menggadaikan integritas mereka yang tak seberapa dan tanpa sungkan mengambil alih posisi preman jalanan menjadi tukang palak.
Setelah melihat fakta hari ini dengan begitu maraknya pemerasan oleh aparatur negara, lalu, di mana hasil revolusi mental yang selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo lalu begitu diagung-agungkan? Kalau ini ditanyakan ke mantan Presiden Jokowi, mungkin dia akan memberikan jawaban singkat seperti yang sudah-sudah, "Ya ndak tahu, kok tanya saya."
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved