Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
TAN Malaka pernah bilang, idealisme ialah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda. Kalimat tersebut dapat dimaknai bahwa tanpa anak muda, sangat mungkin politik bakal berjalan tanpa idealisme. Bila kaum muda mager alias malas bergerak, politik hari ini mungkin hanya dijadikan alat untuk melindungi kepentingan dan kekuasaan kaum tua.
Saya tidak tahu apakah ucapan Tan Malaka itu yang menginspirasi empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, saat mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Saya juga tidak tahu apakah idealisme mereka sebagai anak tersetrum oleh kalimat itu sehingga punya kepercayaaan diri untuk menggugat ketentuan soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Tentu, saya berasumsi, Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, Enika Maya Octavia, dan Faisal Nasirul Haq yang selama ini berkutat dengan ilmu hukum dan tata negara saat berkuliah di Fakultas Syariah dan Hukum UIN punya banyak sosok inspiratif. Pasti tidak cuma Tan Malaka. Pun, tidak cuma terinspirasi dari Sukarno, misalnya, yang juga kerap menggelorakan perlunya pemuda untuk bergerak dalam pidato-pidatonya.
Siapa atau apa pun yang menjadi inspirasi, yang pasti, dengan bekal idealisme seperti yang ditanamkan Tan Malaka dan keberanian ala Sukarno, keempat anak muda itu telah memulai pergerakan untuk meluruskan jalan demokrasi politik yang mereka nilai sudah menyimpang. Faktanya perjuangan mereka menuai hasil maksimal. Gugatan mereka akhirnya menghasilkan putusan penting dari MK yang menihilkan ambang batas pencalonan presiden.
Atas putusan tersebut, MK pantas mendapat banyak pujian dan apresiasi. MK disebut telah membuat putusan fenomenal karena sudah membuka pintu keramat demi mengembalikan muruah demokrasi di Republik ini. Disebut keramat karena sudah bertahun-tahun pintu itu tak bisa dibuka ataupun ditembus. Sedikitnya sudah ada 32 gugatan uji materi tentang presidential threshold sejak 2017 yang masuk ke MK, tapi tak satu pun yang dikabulkan alias ditolak.
Akan tetapi, kita juga tidak boleh melupakan peran empat mahasiswa UIN tersebut. Merekalah sejatinya aktor di belakang layar dari episode penghapusan presidential threshold. Tak berlebihan rasanya bila apresiasi dan pujian yang tak kalah tinggi juga mesti kita berikan kepada mereka.
Mereka berempat tidak sekadar mampu membangun dalil dan argumentasi dalam permohonan uji materi yang kuat sehingga dapat meyakinkan mayoritas hakim MK yang menyidangkan perkara tersebut, tapi sekaligus mampu menumbangkan anggapan publik bahwa anak muda era kini tak lagi memiliki idealisme dan kepedulian yang cukup.
Banyak pakar menyebut mereka telah menjadi motor dari perubahan lanskap demokrasi dan politik di Indonesia. Saya pun sangat setuju. Mereka punya andil besar dalam menciptakan sistem politik dan pemilu yang lebih inklusif, sistem politik yang memungkinkan masyarakat lebih punya banyak pilihan dalam mencari sosok pemimpin. Sistem yang lebih menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan lagi sekadar objek.
Sesungguhnya anak-anak muda seperti inilah yang kita butuhkan di tengah gempuran budaya cuek dan apatis terhadap politik pada era digital sekarang ini. Kehadiran mereka menjadi harapan baru bahwa telah muncul kembali kesadaran dari generasi muda untuk bersikap lebih partisipatif jika ingin membenahi atau melakukan perubahan politik.
Mereka memilih tidak menghindar meskipun selama ini politik kerap dipersepsikan sebagai sesuatu yang kotor, kumuh, penuh intrik, penyelewengan, serta tipu daya. Mereka tidak menjadi apatis, apalagi apolitik sekalipun politik juga sering digambarkan sebagai tempat bersemainya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merusak negeri.
Mereka memilih untuk melawan, mendobrak ketidakberesan dunia politik dengan cara yang sungguh elegan. Kegeraman, kemuakan, dan keresahan yang mereka rasakan, mereka ekspresikan melalui jalur yang tepat. Terbukti kini bahwa pilihan mereka untuk melawan tidak salah dan sedikit banyak berhasil memulihkan kelemahan sistem politik demokrasi kita melalui kemenangan gugatan mereka di MK.
Kiranya benar yang dikatakan mantan calon presiden Anies Baswedan dalam akun X pribadinya saat mengomentari putusan MK perihal penghapusan presidential threshold. Ia secara khusus memuji kiprah empat mahasiswa UIN Yogyakarta yang memohonkan uji materi. 'Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, dan Faisal Nasirul Haq. Mereka adalah anak muda yang memperkuat demokrasi Indonesia, bukan anak muda yang melucutinya', tulis Anies.
Betul, kita layak semakin yakin demokrasi di Indonesia masih bisa diselamatkan, bahkan diperkuat karena para penguatnya, anak-anak muda macam Enika dkk, akan terus bermunculan. Namun, ngomong-ngomong, memangnya sebelum ini ada anak muda yang melucuti demokrasi? Ah, sudahlah.
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved