Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
ORANG bijak pernah mengatakan, 'jika kau tak mampu menerima kekalahan, kau tak mampu merayakan kemenangan'. Kalau orang-orang berjiwa optimisme tinggi mendengar kalimat itu, mereka akan langsung menimpali, 'kenapa tidak sekalian saja kita merayakan kekalahan alih-alih cuma menerima kekalahan?'.
Bagi mereka, sekadar menerima kekalahan tidaklah cukup. Kekalahan mesti diterima tanpa ratapan, tanpa kesedihan, tanpa kekesalan, dan tanpa penyesalan. Itulah level tertinggi dari keikhlasan seseorang saat merespons kekalahan dalam konteks kontestasi atau kompetisi. Ekspresi dari keikhlasan tingkat itu ialah merayakan kekalahan.
Tentu cara merayakan kekalahan tidak sama dengan perayaan kemenangan. Tidak perlu ada pesta, tidak ada hura-hura. Lebih senyap, menghindari keramaian. Cara merayakan kekalahan ialah dengan mensyukuri proses yang telah dilalui sekaligus memahami bahwa kekalahan bukanlah akhir dari segalanya.
Mungkin ini terdengar klise, tetapi sejatinya memang selalu ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari setiap kekalahan. Kata orang, kegagalan ialah kesuksesan yang tertunda. Begitu juga kekalahan, adalah kemenangan yang tertunda. Maka itu, rayakanlah kekalahan, jangan ratapi kekalahan.
Konsep berpikir seperti itu kiranya pas untuk digaungkan mumpung sedang ada momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Hajatan lokal sekaligus nasional itu, kemarin baru saja menyelesaikan tahapan pemungutan suara. Ada 1.556 pasangan kandidat kepala daerah di 545 daerah meliputi 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota yang berlaga memperebutkan suara rakyat pada pilkada serentak tersebut.
Pemilihan umum sering diibaratkan sebuah kompetisi atau pertandingan politik. Di akhir kompetisi nanti, hasilnya tentu ada pihak yang menang, ada kubu yang kalah. Tidak ada hasil seri dalam kontestasi demokrasi.
Sepanas-panasnya atmosfer pertandingan, pada akhirnya semua mesti menerima hasil akhir itu. Kubu yang menang tentu akan menyambutnya dengan sukaria, terkadang ditingkahi pula dengan sikap jemawa. Sebaliknya, yang kalah biasanya akan merasa kecewa, sering kali juga ditambah gerundelan dan kemarahan.
Sebagai respons awal, barangkali hal itu wajar, lumrah. Sangat manusiawi apabila seseorang merasa sedih atau kecewa ketika mendengar kabar kekalahan. Namun, sungguh tak elok jika sikap itu menjadi keterusan. Kemarahan, kekecewaan, dan gerutuan kiranya menjadi tidak lumrah bila diterus-teruskan atau dibiarkan berlarut-larut.
Pun, kekalahan tidak bisa dibilang sebagai kemenangan yang tertunda kalau cara penerimaan atas kekalahan itu lebih didominasi rasa kecewa yang berlebihan. Menerima hasil kompetisi, sekalipun prosesnya terkadang menyakitkan, ialah modal untuk kita mau dan mampu move on, beranjak lepas dari bayang-bayang kekecewaan.
Itulah sejatinya hakikat dari merayakan kekalahan. Toh, sebesar apa pun kekecewaan yang diterima, the show must go on, pertunjukan tetap jalan terus. Kehidupan akan terus berjalan. Bukankah hidup bukan melulu soal kemenangan atau kekalahan? Bukankah hidup itu sendiri mesti terus dirayakan meskipun terkadang di dalamnya menyempil satu-dua kekalahan?
Dalam konteks pilkada, dengan mampu merayakan kekalahan, para kandidat semestinya juga bisa mengajak masyarakat untuk menyikapi hasil pemilihan itu sebagai realitas politik dan demokrasi. Politik ialah permainan panjang. Boleh saja kita kalah hari ini, tapi kita masih punya banyak babak mendatang untuk menunjukkan kemampuan.
Ada nasihat bijak yang rasanya perlu diresapi oleh seluruh peserta pilkada dan para pendukung mereka agar sanggup merayakan apa pun hasilnya nanti karena sesungguhnya pilkada ataupun pemilu diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. 'Pemilu ialah refleksi keinginan masyarakat pada suatu waktu tertentu. Mari dengarkan dan belajar dari kekalahan ini untuk memahami lebih baik kebutuhan dan aspirasi rakyat'.
Kendati demikian, kesanggupan untuk merayakan kekalahan juga bukan berarti menormalisasi pelanggaran, kecurangan, bahkan keculasan yang mungkin saja terjadi selama proses pilkada. Penerimaan atas kekalahan itu tetap harus disertai dengan catatan-catatan kritis terkait dengan penyelenggaraan, pengawasan, dan seluruh proses kontestasi yang telah.
Percayalah, catatan kritis dari orang yang sanggup merayakan kekalahan akan lebih dihargai dan dihormati ketimbang ketika catatan-catatan itu disampaikan oleh orang yang selalu ngotot mengingkari kekalahan. Jadi, terutama bagi pihak yang kalah, tak perlu ragu, mari rayakan juga kekalahan kita.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved