Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
ISU terkait dengan distribusi bantuan sosial (bansos) selalu saja menarik. Sayangnya, sisi menarik dari isu bansos akhir-akhir ini selalu dalam konteks negatif. Dari soal korupsinya, tentang kacaunya data penerima sampai membuat bansos banyak salah sasaran, hingga soal dipakainya bansos sebagai alat politik untuk mendulang suara dalam kontestasi demokrasi.
Sejatinya, tidak ada yang salah dengan bansos. Bagi rakyat kecil yang masuk kelompok sasaran bansos, program yang sepenuhnya dibiayai APBN/APBD itu sangatlah membantu meringankan beban hidup mereka, apalagi di tengah kondisi perekonomi yang mencekik leher seperti sekarang.
Bansos, secara ideal, ialah instrumen altruisme atau prinsip pengutamaan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Pada sisi praktis, bansos merupakan alat untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat. Namun, masalahnya, lantaran ada anggaran besar di pos itu, godaan untuk melencengkan pemanfaatannya pun tak kalah besar.
Maka itu, yang sering terjadi ialah bansos yang seharusnya buat rakyat justru kerap diselewengkan menjadi alat untuk mengeruk uang rakyat (negara). Pun, bansos yang seharusnya diniatkan untuk membantu mendongkrak daya beli masyarakat miskin atau bahkan mengentaskan mereka dari kemiskinan malah dipakai untuk tujuan politik.
Ya, begitulah nasib bansos. Tak lebih baik daripada nasib orang-orang yang seharusnya menerima bansos, tapi terpaksa gigit jari karena anggarannya keduluan dikorupsi. Sama mengenaskannya pula dengan nasib masyarakat miskin yang tak masuk daftar penerima bansos hanya lantaran sistem pendataan yang ngawur dan semrawut.
Bansos tidak salah apa-apa, tapi 'nama baik' bansos terus tercoreng gara-gara perilaku pengelolanya. Pada saat pandemi covid-19, misalnya, anggaran bansos yang semestinya bertujuan mulia melindungi ketahanan ekonomi rakyat kecil dari dampak pandemi malah 'dijarah' para pejabat. Tidak tanggung-tanggung, salah satu pelakunya ialah menteri sosial kala itu, Juliari Batubara.
Sejak itu nama bansos kian sering dikonotasikan negatif. Bahkan, ada yang dengan sarkas memelesetkan kepanjangan bansos menjadi bandit sosial karena banyaknya bandit alias penjahat yang menjarah dana sosial. Akan tetapi, ya, seperti biasa, sarkasme sekasar apa pun tak membuat perilaku lancung itu berhenti. Buktinya, sampai saat ini pun berita-berita tentang korupsi bansos terus tersaji.
Kita cuplik saja satu contoh yang teranyar. Kemarin, KPK mulai mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan bansos beras presiden saat penanganan pandemi covid-19 di wilayah Jabodetabek pada 2020. Kasus itu mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp125 miliar. Empat orang sudah dipanggil sebagai saksi, tiga dari pegawai Kemensos dan satu swasta.
Itu baru soal korupsinya. Kontroversi lain terkait dengan penyaluran bansos masih banyak lagi. Salah satu yang tempo hari cukup menyedot perhatian publik ialah pernyataan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Ia bilang bahwa ada 46% penerima bansos tidak tepat alias salah sasaran. Waduh.
Sejumlah pihak menduga ketidaktepatan penyaluran bansos itu disebabkan oleh ketidakakuratan data penerima bansos. Maklum saja, kata mereka, pemerintah ini memang amat bermasalah dengan data. Namun, mestinya kita tidak bisa maklum kalau kemudian kesalahan data itu membuat hampir separuh anggaran bansos mengucur ke orang yang salah.
Lalu, apa isu soal bansos yang paling kontroversial? Tidak lain ialah politisasi bansos. Suka tidak suka mesti kita akui politisasi bansos pada akhirnya berhasil mengubrak-abrik prediksi elektoral pada Pemilu 2024 lalu, terutama dalam konteks pilpres. Kelompok yang ditengarai didukung penguasa yang memiliki kuasa atas anggaran bansos berhasil memenangi pemilu dengan skor telak.
Itu jelas fenomena yang mencemaskan. Mengapa? Karena pola, skema, dan kejadian yang sama mungkin saja akan direpetisi pada hajatan-hajatan demokrasi berikutnya, termasuk Pilkada 2024 yang sudah di depan mata. Mau tidak mau harus ada aturan untuk mencegah politisasi bansos kembali mengacak-acak demokrasi.
Dengan segala problematikanya, program bansos yang mengantongi anggaran besar memang harus dibentengi dengan aturan yang rigiditas. Tidak boleh sedikit pun yang abu-abu, jangan pula menyisakan celah bila tidak mau bansos hanya dimanfaatkan untuk kepentingan lain alih-alih kepentingan rakyat.
Aturan yang tegas, ditambah kontrol yang ketat, paling tidak akan memulihkan 'nama baik' bansos sekaligus mengembalikan fungsi bansos kepada khitahnya sebagai instrumen perlindungan sosial. Bukan instrumen untuk memperkaya diri, bukan pula sebagai alat memanjat panggung politik.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved