Headline

Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.

Rakyat (bukan) Pemenang Pemilu

Ahmad Punto Dewan Redaksi Media Group
15/2/2024 05:00
Rakyat (bukan) Pemenang Pemilu
Ahmad Punto Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

SIAPA yang seharusnya memenangi kontestasi demokrasi bernama pemilihan umum (pemilu)? Kalau ini ditanyakan kepada para pendukung garis keras parpol atau capres-cawapres, jawabannya sudah pasti: yang harus menang ialah parpol atau capres-cawapres yang mereka dukung. Jangan ditanya alasannya, karena terkadang mereka bahkan tidak perlu alasan untuk urusan dukung mendukung itu.

Akan tetapi, kalau kita bicara pada tataran ideal, dengan mengacu pada prinsip demokrasi secara konseptual, semestinya yang menjadi pemenang dari sebuah proses pemilu ialah rakyat. Pemilu seharusnya merupakan perwujudan daulat rakyat. Maka, produk yang dihasilkan pemilu, entah itu eksekutif ataupun legislatif, haruslah menjadi cerminan kemenangan rakyat.

Warren G Harris, seorang politikus Amerika Serikat sekaligus veteran Perang Dunia II, pernah mendefinisikan pemilu adalah sebuah seruan ketika warga negara memilih pejabat pemerintah dan memutuskan apa yang mereka ingin pemerintah lakukan. Dalam pengambilan keputusan ini, warga negara menentukan hak apa yang ingin mereka miliki dan pertahankan.

Jelas, kalau merujuk pada pengertian itu, esensi pemilu adalah kemenangan rakyat. Pemilu bukan sekadar hitung-hitungan elektoral sehingga seolah-olah seseorang atau kelompok yang unggul dalam penghitungan suara pemilu boleh menjalankan kekuasaan tanpa memedulikan kepentingan dan suara rakyat.

Namun, tentu, untuk bisa sampai tahap ideal itu butuh prasyarat yang tidak mudah. Dua yang utama dari sejumlah syarat tersebut ialah birokrasi pemerintahan yang netral dan penyelenggara pemilu yang kompeten dan berintegritas.

Sayangnya, pada Pemilu 2024 yang kemarin sudah memasuki tahap pemungutan suara, dua syarat itu gagal ditunaikan. Sedari awal, publik dipertontonkan betapa mudahnya penyelenggara negara menerabas netralitas. Birokrasi pemerintah secara semena-mena dilibatkan, bahkan secara terang-terangan, dalam proses pemenangan peserta pemilu tertentu.

Hulunya tentu ada di pucuk pimpinan pemerintahan, yakni Presiden Joko Widodo, yang sepanjang proses pemilu kali ini tak henti-hentinya menunjukkan keberpihakan dan dukungan kepada salah satu kandidat. Serupa jargon hilirisasi yang terus ia dengung-dengungkan, Jokowi menghilirkan ketidaknetralannya itu ke jajaran di bawahnya.

Diawali dengan ketidakpeduliannya terhadap etika demokrasi dengan hobi cawe-cawenya, terciptalah gerakan-gerakan senyap yang diinisiasi pucuk penguasa dan dieksekusi dengan masif oleh aparat-aparat di bawahnya. Tidak jarang Pak Presiden pun turun langsung sebagai eksekutor. Tujuannya jelas, untuk menggiring suara dan dukungan masyarakat kepada kandidat yang disokong Presiden.

Celakanya, di saat yang sama, syarat utama yang kedua juga tidak terengkuh. Kompetensi dan integritas penyelenggara pemilu kerap dipertanyakan. Terlebih setelah ada putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan beberapa anggota KPU melakukan pelanggaran etika dengan menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres dalam Pemilu 2024.

Lalu, lihatlah kemarin, ketika sejumlah modus kecurangan di tempat pemungutan suara (TPS) terkuak melalui partisipasi aktif publik melaporkan berbagai keanehan dan tindakan kecurangan itu ke kanal-kanal pelaporan pemilu maupun ke akun media sosial masing-masing. Bukankah itu membuktikan bahwa kompetensi KPU sebagai penyelenggara dan Bawaslu sebagai pengawas pemilu patut kita pertanyakan?

Dengan prosesnya yang penuh kecurangan dan pelanggaran itu, tidak sedikit pakar yang menilai pemilu kali ini cacat dan hasilnya tidak legitimate. Benar tidaknya penilaian itu tentu saja masih bisa diperdebatkan. Namun, jangan lupa, demokrasi kita pun pernah dinilai cacat (flawed democracy) oleh riset Economist Intelligence Unit (EIU) yang dilakukan tahun lalu. Pemilu sebagai salah satu variabelnya tentu punya andil dalam kecacatan demokrasi tersebut.

Lantas, dengan kondisi seperti itu, apakah rakyat tetap menjadi pemenang pemilu? Ketika hanya keinginan meraih kekuasaan yang ada dalam pikiran mereka, apakah kepentingan rakyat menjadi variabel penting dalam laku mereka menjalani proses pemilu dan demokrasi? Di saat yang mereka kejar hanya perolehan elektoral sembari meminggirkan adab dan etika, apakah ada jaminan mereka tidak akan membungkam suara rakyat ketika berkuasa?

Pertanyaan-pertanyaan tadi semoga hanya menjadi kekhawatiran saya yang tak beralasan. Sekadar kecemasan yang mengada-ada. Sebab, kalau itu benar, tidak terbayangkan berbahayanya. Rakyat, sekali lagi, akan menjadi pihak yang kalah. Dan pemenangnya, lagi-lagi, sekelompok kecil nan kuat yang selama ini orang banyak menyebut mereka sebagai oligarki.



Berita Lainnya
  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima

  • Keabadian Mahaguru

    22/7/2025 05:00

    IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.