Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Ketakutan

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
07/2/2024 05:00
Ketakutan
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

DI tangan rezim despotik, kekuasaan itu segala-galanya. Di tubuh orang yang dilanda demam kekuasaan akut, suara kritis itu mencemaskan. Bahkan, saking cemasnya, suara rakyat (voice) akan diberi stempel kebisingan (noise).

Saat para guru besar, para cerdik pandai, penjaga kewarasan meniupkan peluit panjang seruan kembali ke nurani, kembali ke demokrasi, kekuasaan yang menabrak pagar akan bilang itu suara bising. Ketika mereka, kaum cerdik pandai itu, menggaungkan voice, kekuasaan yang tidak dibimbing dengan moral dan etika akan mengecap itu sebagai noise. Ketakutan mengalahkan kewarasan. Kecemasan pun membunuh kepatutan.

Saya kembali teringat kisah sufi masa lampau yang amat masyhur di Timur Tengah. Kisah itu bercerita rasa waswas, rasa cemas, dan rasa takut dari penguasa despotik yang usia kekuasaannya sudah renta, di ujung senja. Di saat itu, sang penguasa tidak saja elergi terhadap seruan moral, tetapi juga menolak sama sekali ajakan kebaikan.

Alkisah, di sebuah negeri, sang penguasa despotik itu menyangka dirinya menggenggam semua kuasa, termasuk kedigdayaan sebagai penyair besar. Ia amat mengagumi syair-syair yang ia tulis dan ia deklamasikan sendiri. Baginya, tulisan dan vokalnya itu sengada lawan, tiada tanding dan tiada banding.

Sang penguasa makin besar kepala karena ia dikelilingi para punggawa istana yang selalu siap menjulurkan lidah demi menjilat kemampuan sang kuasa dalam meramu syair-syair. Para penjilat itu saban hari memuji-muji syair-syair yang dibacakan sang penguasa. Adrenalin penguasa itu membuncah saban pujian dari penjilat itu mengalir deras.

Begitu pula yang terjadi di suatu hari, saat ia mengumpulkan orang-orang demi mendengar syair-syairnya di atas podium yang megah. Dari atas mimbar, sang penguasa mendeklamasikan syair-syair itu. Semua kepala tegak atau ditegak-tegakkan. Semua mata terbelalak atau dibelalak-belalakkan.

Seusai pembacaan syair-syair itu, sang penguasa menyuruh orang-orang yang hadir untuk menilainya. Maka, puja-puji berhamburan. "Sangat indah, Tuanku," seru mereka bak kor terorkestrasi. "Tuan, ini teramat indah. Tidak disangkal, Tuan ialah penyair terbesar di negeri ini," timpal lainnya disertai tempik sorak membahana.

Sang penguasa itu pun semringah. Senyum lebar terpancar dari bibirnya. Ia bersiap membacakan syair-syair selanjutnya hingga tatapan matanya tertumbuk pada seorang tua yang diam membatu. Orang tua itu tidak antusias seperti lainnya. "Hei, kau orang tua, mengapa diam saja? Kau tidak bisa mengagumi syair-syairku?" tanya sang penguasa dengan penuh rasa cemas.

Orang tua itu pun menjawab, "Menurut saya, syair-syair yang Tuan baca tadi buruk. Sangat buruk. Begitu pula suara Tuan saat membacakan syair-syair tadi, sangat buruk. Saya diam karena tidak kunjung bisa menikmati isi syair dan cara Tuan membacakan syair buruk itu."

Di tengah kor 'sangat bagus', ada seorang renta usia berani mengatakan sebaliknya, 'sangat buruk'. Ini masalah serius bagi sang penguasa yang ingin menggenggam segala kuasa atas rakyat. Dalam kisah sufi, orang tua yang berani itu bernama Nasruddin Hoja.

Nasruddin setara Abu Nawas. Lantaran banyak dikisahkan dengan pelbagai cerita dan anekdot tentang kehidupannya, Nasruddin Hoja dikira ialah tokoh fiksi. Padahal, sebenarnya ia sosok nyata, bahkan punya julukan mullah atau tokoh sufi.

Dalam kisah penguasa lalim itu, Nasruddin tampil sebagai sosok antagonis, yang berani jujur mengkritik sang penguasa yang kelewat melenceng. Pasti, sang penguasa marah atas suara berbeda itu. Ia mengusir Nasruddin dan memerintahkan pasukan keamanannya untuk menyeretnya ke kandang kuda. "Kamu harus mendekam di kandang kuda untuk tiga hari sebagai hukuman atas kekurangajaranmu," tandas sang penguasa.

Sejak saat itu, Nasruddin sadar diri. Ia akan lari ke kandang kuda saban mendengar sang penguasa membacakan syair-syair yang buruk nan sumbang itu. Ia terlihat konyol, tetapi genius dan teguh pendirian. Ia memilih berada di kandang kuda daripada mengubah suara yang bertentangan dengan nuraninya.

Nasruddin mewakili perlawanan rakyat yang tertindas. Ia suara pengingat bagi penguasa yang mulai bernafsu memiliki semuanya sembari cemas kekuasaannya tergerus dan dicampakkan alias tidak dilanjutkan. Penguasa despotik yang cemas akan menggunakan rasa takut untuk menjaga kekuasaannya.

Seperti kata Ignazio Silone, peraih Nobel sastra asal Italia: penguasa yang cenderung otoriter biasanya berangkat dari rasa cemas terus-menerus. Maka, suara yang berbeda, tindakan yang berbeda, akan selalu tidak menyenangkan baginya. Saat tidak senang, saat cemas, penguasa otoriter pun akan mengembangbiakkan ketakutan.

Di negeri Nasruddin, rasa cemas sang penguasa itu kian hari makin menggulung. Itu karena tembok-tembok dan pagar-pagar tebal kekuasaan yang ia bangun mulai rontok. Sejak Nasruddin yang diidentifikasi sebagai orang tua yang lemah bersuara berbeda, banyak orang makin percaya bahwa Nasruddin benar adanya. Kepercayaan itu meletupkan keberanian yang juga kian menggunung.

Suara yang tadinya sayup-sayup dan senyap mulai berubah menjadi pekikan yang makin membuat sang penguasa tambah cemas. Bahkan, muncul Nasruddin-Nasruddin baru dari kampus-kampus elite di negeri itu yang menyeru kepada sang penguasa agar siuman dari mabuk kekuasaannya.

Di sisi lain, pujian demi pujian, jilatan demi jilatan, sudah tidak segegap gempita sebelumnya. Ada yang tetap menghibur sang penguasa dengan menyodorkan data bahwa 80% lebih rakyat puas dengan syair-syair duli tuanku. Namun, bukannya senang, sang penguasa malah bimbang. Ia panik, resah, dan cemas sehingga turun gunung membagi-bagikan sendiri bantuan sembari menyodorkan blangko untuk ditandatangani. Blangko itu isinya: syair sang penguasa tiada bandingannya.

 



Berita Lainnya
  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

  • Enaknya Pejabat Kita

    12/6/2025 05:00

    "TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''

  • Ukuran Kemiskinan\

    11/6/2025 05:00

    BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan

  • Bahlul di Raja Ampat

    10/6/2025 05:00

    PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.

  • Maling Uang Rakyat masih Berkeliaran

    09/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.

  • Menyembelih Ketamakan

    07/6/2025 05:00

    ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.

  • Uji Ketegasan Prabowo

    05/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam

  • APBN Surplus?

    04/6/2025 05:00

    SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.

  • Pancasila, sudah tapi Belum

    03/6/2025 05:00

    NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.

  • Arti Sebuah Nama dari Putusan MK

    02/6/2025 05:00

    APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.

  • Para Pemburu Pekerjaan

    31/5/2025 05:00

    MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.

  • Banyak Libur tak Selalu Asyik

    30/5/2025 05:00

    "LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.

  • Apa Kabar Masyarakat Madani?

    28/5/2025 05:00

    SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.

  • Basa-basi Meritokrasi

    27/5/2025 05:00

    HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.