Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
PEMILIHAN umum telah memanggil kita
Seluruh rakyat menyambut gembira
Hak demokrasi Pancasila
Hikmah Indonesia merdeka
Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya
Pengemban ampera yang setia
Di bawah Undang-Undang Dasar '45
Kita menuju ke pemilihan umum
Lirik Mars Pemilu ini diciptakan oleh Mochtar Embut untuk Pemilu 1971, pemilu kedua di negeri ini. Lagu itu diperdengarkan di enam kali pemilu berikutnya, hingga Pemilu 1997. Mars tersebut terpilih sebagai lagu resmi pemilu dalam sayembara yang digelar pada 1970. Untuk lagunya itu, Mochtar Embut mendapat piagam penghargaan bertanggal 12 September 1970 dari Menteri Dalam Negeri Amirmachmud yang merangkap Ketua Lembaga Pemilihan Umum.
Mars itu kini kerap diputar lagi di mana-mana, baik di media sosial maupun di media arus utama seperti Metro TV. Banyak orang ikut menyanyikannya dengan nuansa riang gembira. Bahkan, banyak anak muda yang tidak pernah bersinggungan dengan pemilu di era Orde Baru pun bisa hapal lirik dan cengkok lagu pemilu yang sudah berusia hampir 53 tahun itu.
Saya lalu tergelitik bertanya, ada apa sesungguhnya? Bukankah Komisi Pemilihan Umum sudah punya mars pemilu yang baru di Pemilu 1999? Bukankah pula ada jingle pemilu yang digarap grup band Cokelat yang diperdengarkan oleh KPU untuk Pemilu 2024?
Saya menduga, boleh jadi karena lirik lagu Mars Pemilu karya Mochtar Embut lebih menggugah, lebih mencerminkan suasana kebatinan demokrasi yang sedang dalam tantangan, lebih mewakili harapan rakyat. Mars itu tidak panjang, cuma delapan kalimat. Tapi, isinya padat dan bernas.
Saat rakyat ramai-ramai menyanyikan mars kuno itu dengan riang gembira, jangan-jangan benar belaka bahwa ada kecemasan yang merambak. Seperti pernah saya tulis di ‘Podium’ ini sebelumnya, penguasa yang mestinya netral malah berpihak.
Bahkan, keberpihakan itu disertai ancaman. Bila pasangan yang disokong kekuasaan tidak dipilih, bansos akan hilang. Bagi yang punya usaha, akan dikulik-kulik pajak mereka, padahal selama ini tidak ada masalah. Kepala desa, bila tidak mendukung apa maunya penguasa untuk memilih paslon tertentu, akan dikilik-kilik lewat penggunaan dana desa.
Pada saat itulah, menyanyikan lagu pemilu karya Mochtar Embut bisa menjadi sarana 'katarsis'. Ia menghibur. Ia menumbuhkan harapan, alih-alih mengembangbiakkan kecemasan dan ketakutan. Politik harapan itulah yang kini memudar dan membuat demokrasi makin merosot.
Saya jadi teringat pernyataan Ruth Wodak, ahli linguistik Universitas Wina, Austria, yang mengatakan bahwa narasi politik berbasis ketakutan, pesimisme, dan kemarahan merupakan fenomena politik yang berkembang di sejumlah negara, khususnya di Eropa, di awal abad ke-20.
Di Eropa, fenomena ini mendapatkan momentum ketika terjadi kebangkitan gerakan populisme sayap kanan yang dimotori oleh golongan konservatif. Kelompok kanan-konservatif menggunakan isu imigran, terorisme, bahkan liberalisme untuk menyerang pihak-pihak yang beraliran progresif.
Di Indonesia, dalam hampir satu dasawarsa terakhir, situasi seperti itu juga mulai dirasakan. Politik harapan, sebagaimana yang disemai oleh para pendiri bangsa, mulai dikubur dengan menebar politik kecemasan dan ketakutan. Wajar belaka bila sampai seorang pemikir kebinekaan, Sukidi, menyebut situasi kini sudah mengarah bahwa 'demokrasi berada di ujung kematian'.
Karena itu, banyak kalangan mulai bergandengan tangan untuk menyalakan politik harapan (politic of hope). Politik harapan, kata Jonathan Sacks, merupakan sebuah tawaran di tengah maraknya politik berbasis narasi ketakutan, pesimisme, dan kemarahan. Politik harapan, kata Pak Sacks, merupakan sebuah gagasan politik yang memperjuangkan terwujudnya negara kesejahteraan.
Kesejahteraan yang dimaksud bukan saja dari aspek ekonomi, melainkan juga meliputi kesejahteraan di bidang kebebasan dan demokrasi dalam politik, penegakan hukum, serta jaminan atas hak asasi manusia. Dengan demikian, politik harapan menolak narasi politik yang dikembangkan dengan menebar pesimisme, ketakutan, bahkan kemarahan.
Dalam politik harapan, janji-janji dibangun atas fondasi yang jelas, masuk akal, visi dan misi yang terukur, serta bisa dieksekusi. Bukan melulu janji-janji yang utopis, penuh pencitraan, apalagi bualan belaka atau membangun realitas buatan alias hiperrealitas. Yang terakhir ini bukan politik harapan namanya, melainkan politik pencitraan yang berlebihan.
Di tengah sengkarut kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang dihadapi bangsa ini sekarang, membangun narasi politik harapan bisa menjadi salah satu cara kita melahirkan pemimpin transformatif. Pemimpin transformatif itu senyawa perpaduan antara pemikir dan pekerja yang mampu menyinergikan kekuatan pemerintah, pasar, dan masyarakat sipil. Dialah 'pengemban ampera (amanat penderitaan rakyat) yang setia'.
Kata Napoleon Bonaparte, pemimpin sejati itu a dealer in hope, alias sang penjual sekaligus pembeli harapan. Karena pemilu merupakan sarana membangkitkan harapan, maka selayaknya kita sambut seruan Mochtar Embut: Pemilihan umum telah memanggil kita; Seluruh rakyat menyambut gembira.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved