Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
TAHUN 2023 kita lalui dengan kian merambaknya kecemasan. Sebagian ialah warisan masa lalu, tapi tidak sedikit yang diproduksi oleh hal-hal baru. Selimut ketakutan akibat pandemi covid-19 memang sudah tiada. Namun, kecemasan dan ketakutan lain masih menghantui kehidupan bangsa.
Di bidang ekonomi, orang-orang mulai cemas karena sendi-sendi penopang daya beli makin keropos. Ekonomi bergerak, tetapi lebih banyak dirasakan lingkaran-lingkaran terbatas. Mereka yang di tengah kian 'mantab' alias makan tabungan.
Mereka yang di bawah hanya menumpu kepada bantuan sosial dan semakin kehabisan cara untuk mendulang pendapatan. Fenomena ketimpangan yang masih menganga membuat kecemasan terus menumpuk. Ada yang mencoba bertahan, ada pula yang memilih mengakhiri hidup.
Mereka itu kaum marginal secara ekonomi. Kecemasan menghantui mereka berlipat-lipat karena kian menganganya ketimpangan, tidak setaranya akses kesempatan mendapatkan pekerjaan (banyak yang diuntungkan 'ordal' alias orang dalam), akses berusaha, dan permodalan.
Di bidang sosial, kohesivitas sosial makin memudar. Banyak orang lebih peduli pada diri sendiri. Solidaritas memang menggema untuk sejumlah tema di jagat maya, tapi mulai senyap di alam nyata. Bahkan, sekadar mencari teman atau tetangga untuk berkeluh kesah makin susah.
Tidak mengherankan bila bertetangga tidak lagi perlu tahu apa yang terjadi dengan tetangga mereka. Kemiskinan benar-benar dirasakan sendirian. Kelaparan disimpan karena teriakan justru akan menambah lapar. Di sebuah tempat di Nusa Tenggara Timur, ada seorang ayah yang merobek perutnya karena lapar dan tidak sanggup lagi melihat keluarganya ikut lapar. Kisahnya memang diketahui, tapi bukan karena pergumulan sosial dengan tetangga, melainkan setelah viral di media sosial.
Di bidang politik, apalagi. Kecemasan berkecamuk di dada orang-orang yang berbeda sikap dengan penguasa. Bila ia punya usaha, karena berbeda dan siap membelanjakan sebagian hartanya untuk memperjuangkan keyakinan politik yang berbeda itu, siap-siaplah untuk diselisik pajaknya, izinnya, amdalnya, ini-itunya.
Bila ia seorang aktivis kampus, suara kritisnya akan mencemaskannya karena ia mesti siap diselisik tingkah moral personal hariannya. Sedikit saja salah bicara, ia bisa diperkarakan karena dianggap melakukan pelecehan seksual secara verbal.
Bila ia kelompok dan rombongan yang berbeda, dan hendak mempresentasikan argumentasi mengapa memilih jalan berbeda, siap-siaplah untuk dipersoalkan acaranya. Bisa-bisa, dicabut izin acaranya hanya beberapa jam sebelum acara dimulai. Kebebasan berbicara memang masih terlaksana, tapi bibit-bibit jebakan otoritarianisme, meminjam istilah Levitsky dalam How Democracies Die, mulai disemai di mana-mana.
Di jagat maya, kata Wakanda dan Konoha kerap menjadi pilihan untuk menggantikan 'Indonesia' bila ingin mengkritisi kebijakan. Pemilihan kata itu dirasa aman dari delik pidana pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, kecemasan masih menggunung.
Saya sepakat dengan tulisan Yudi Latif dalam salah satu bukunya, Negara Paripurna, yang menyebutkan bahwa warisan terbaik para pendiri bangsa ini ialah politik harapan (politic of hope), bukan politik ketakutan atau kecemasan (politic of fear). Politik yang dibangun landasan harapan akan melahirkan kesadaran, kesukarelaan atau partisipasi aktif, dan membawa energi berlimpah untuk perubahan.
Sebaliknya, politik yang bertumpu pada penyebaran ketakutan dan kecemasan bakal menciptakan apatisme. Juga, memunculkan ketidakpercayaan, pragmatisme, serta energi negatif yang menghambat kemajuan bangsa.
Mulai terasa orang-orang mulai dimarginalkan secara politik. Mereka yang marginal secara politik itu dilanda kecemasan karena bertumbuhnya ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya kekuasaan dan perlakuan hukum. Untuk kasus yang sama, bahkan lebih kecil dan belum jelas alat bukti dan perkaranya, orang bisa saja berurusan dengan hukum asal memilih jalan berbeda dengan kehendak kekuasaan.
Tahun 2023 memang segera berakhir. Namun, rasa cemas sepertinya belum akan sirna, khususnya di hati orang-orang yang memilih jalan berbeda.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved