Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Despotisme Baru?

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
11/10/2023 05:00
Despotisme Baru?
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

PENCABUTAN izin secara mendadak acara diskusi publik ialah masalah serius bagi demokrasi. Apa yang dialami bacapres Koalisi Perubahan Anies Baswedan dan komunitas sipil di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, saat Pemprov Jawa Barat tiba-tiba menganulir izin yang sudah dikantongi panitia, seolah mereplikasi era Orde Baru. Ketika itu, siapa yang berbeda suara tidak mendapat tempat.

Berbeda dengan Orde Baru yang tindakan antidemokrasinya selalu ditantang kekuatan sipil, kini beragam langkah kekuasaan yang tidak sejalan dengan spirit demokrasi tetap mendapat dukungan.

Saya lalu teringat dengan pernyataan guru besar University of Sydney dan Wissenschaftszentrum Berlin, John Keane, tiga tahun lalu. Pada 2020, profesor di bidang politik dan kajian demokrasi ini memperingatkan akan bahaya despotisme baru di sejumlah negara.

John Keane menggambarkan dunia masa depan yang didominasi despotisme baru, yakni 'sebuah pemerintahan pseudo-demokratis jenis baru yang dipimpin oleh para penguasa yang ahli dalam seni memanipulasi dan mencampuri kehidupan masyarakat, mengumpulkan dukungan mereka, dan menang dengan kepatuhan mereka’.

Dalam despotisme baru, pemilu terus berlangsung. Pemisahan kekuasaan politik dan peradilan juga dijalankan. Kesetaraan warga negara tetap dipertahankan. Tapi, semuanya semu. Segalanya serbaseolah-olah. Sepertinya demokratis, padahal yang dijalankan justru antidemokrasi.

John Keane mencontohkan Turki di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan. Erdogan dan partainya, AKP, berkuasa dengan mengartikulasikan bahasa keadilan sosial yang populis dalam kelompok Islam. Namun, Erdogan menerapkan despotisme baru, dimulai dengan mengubah konstitusi yang memungkinkannya memegang kekuasaan hingga 2029.

Di sisi lain, pascapercobaan kudeta pada 2016, lebih dari 160 ribu anggota lembaga peradilan, akademisi, guru, polisi, dan pegawai negeri sipil dianggap sebagai pembangkang. Beberapa aktivis juga dipersekusi hingga mereka meninggalkan Turki.

Beberapa contoh lainnya, tulis Keane, juga terjadi pada Presiden Jair Bolsonaro di Brasil, Viktor Orban di Hongaria, Emomali Rahmon di Tajikistan, Rodrigo Duterte di Filipina. Ketika memerintah, mereka tetap populer, kendati banyak tindakan mereka yang tidak demokratis.

Despotisme baru berbeda dengan despotisme klasik yang mengacu pada kekerasan dan penegakan hukum sewenang-wenang tanpa persetujuan rakyat.

Rezim despotisme baru memerlukan keberadaan institusi demokrasi dan pemilihan umum yang bebas dan adil. Bentuk demokrasi yang menyimpang memiliki kapasitas menciptakan persetujuan sosial melalui manipulasi.

Jadi, dalam despotisme baru, meskipun ketidakadilan ada di depan mata, kebebasan berekspresi dikekang, kekuasaan mulai memainkan hukum, dan prinsip rule of law diganti rule by law, rezim tetap mampu memuaskan rakyat. Mereka tetap mendapatkan 'persetujuan' rakyat yang tecermin, salah satunya, dari hasil survei tingkat kepuasan publik.

Peringatan Keane itu juga diulas dosen ilmu politik Universitas Airlangga Surabaya Airlangga Pribadi Kusman dan dosen ilmu hukum Universitas Brawijaya Malang Milda Istiqamah melalui analisis di Melbourne Asia Review, sebuah jurnal milik Asia Institute.

Dalam tulisan berjudul Indonesia's 'new despotism' yang diunggah pada Mei 2021 itu, keduanya memperingatkan bahwa penguasa Indonesia bisa 'tergoda' menjadi kaum 'despotik baru'. Mereka meletakkan kata despotisme baru dalam tanda kutip.

Airlangga dan Milda menganalisis tanda-tanda yang bisa mengarahkan Indonesia terjebak pada despotisme baru itu. Di antaranya, pernyataan Presiden Joko Widodo yang sering menganggap demokrasi kita kebablasan, terlalu gaduh, dan menghambat percepatan pembangunan ekonomi.

Selain itu, tulis Airlangga dan Milda, pemerintahan Jokowi menunjukkan ciri-ciri despotisme baru melalui penciptaan wacana antagonisme budaya yang mengkriminalisasi lawan-lawannya dari masyarakat sipil dan membantu membangun persetujuan publik.

Hal itu, misalnya, terlihat pada pembingkaian kelompok yang kritis terhadap melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemerintah secara keliru menyatakan bahwa KPK telah disusupi oleh kelompok Islam radikal hingga memunculkan istilah ‘talibanisasi KPK’. Wacana ini disebarkan melalui influencer dan ‘buzzer’ di media sosial.

Saya berharap apa yang terjadi akhir-akhir ini bukan jalan ke arah despotisme baru. Terlalu mahal harganya bagi negeri ini bila kesepakatan bersama kita memilih jalan demokrasi diputarhaluankan ke antidemokrasi atas nama 'ketenangan' dan 'kenyamanan' pembangunan.



Berita Lainnya
  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

  • Enaknya Pejabat Kita

    12/6/2025 05:00

    "TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''

  • Ukuran Kemiskinan\

    11/6/2025 05:00

    BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan

  • Bahlul di Raja Ampat

    10/6/2025 05:00

    PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.

  • Maling Uang Rakyat masih Berkeliaran

    09/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.

  • Menyembelih Ketamakan

    07/6/2025 05:00

    ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.

  • Uji Ketegasan Prabowo

    05/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam

  • APBN Surplus?

    04/6/2025 05:00

    SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.

  • Pancasila, sudah tapi Belum

    03/6/2025 05:00

    NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.

  • Arti Sebuah Nama dari Putusan MK

    02/6/2025 05:00

    APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.

  • Para Pemburu Pekerjaan

    31/5/2025 05:00

    MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.

  • Banyak Libur tak Selalu Asyik

    30/5/2025 05:00

    "LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.

  • Apa Kabar Masyarakat Madani?

    28/5/2025 05:00

    SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.

  • Basa-basi Meritokrasi

    27/5/2025 05:00

    HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.

  • Perseteruan Profesor-Menkes

    26/5/2025 05:00

    ADA benarnya pernyataan Sukarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

  • Koperasi dan Barca

    24/5/2025 05:00

    KOPERASI itu gerakan. Ibarat klub sepak bola, gerakan koperasi itu mirip klub Barcelona. Klub dari Catalan, Spanyol, itu dari rakyat dan milik rakyat.