Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
BUMI Kejuron lagi bersiap pesta akbar rakyat.
Raja Gajayana yang gagah perkasa hendak bermantu mulia.
Putri mahkota Uttajana nan jelita akan dipersunting Jananiya yang tampan rupawan.
Berharap kelak kejayaan Kanjuruhan abadi, aman sejahtera.
Candi agung Karang Besuki pun berhias indah.
Lambaian rerupa janur kuning berlomba mewarnai langit.
Terlihat Resi Agastya khidmad memunajatkan doa-doa kinasih.
Di kejauhan tampak pula ketenangan ramah alir Sungai Brantas yang berkilau jernih diterpa tatap mentari.
Penggalan bait-bait sajak berjudul Kanjuruhan Rikala Lalu itu ditulis Gunawan Wibisono, satu hari setelah tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Ia menuangkan kekagetannya itu melalui larik-larik puisi di laman blog Kompasiana.com.
Gunawan tidak mengira dari sebuah kampung istana Kanjuruhan yang pernah punya sejarah molek, indah, dan damai itu pekik kebencian menguar. Sumpah serapah bersabung dengan jeritan dari suporter klub sepak bola Arema. Pekik pilu itu dipicu lontaran gas air mata petugas keamanan yang berujung menjadi tragedi.
Di tempat yang sejuk itu, hawa panas meluap. Api amarah dari pendukung yang tidak terima tim kebanggaan mereka kalah di kandang, menjelma amuk massa. Aparat keamanan yang kebingungan menghalau massa, menyemburkan gas air mata. Lebih dari 130 orang pun meninggal dunia (berdasarkan data Postmortem Crisis Center). Ratusan orang lainnya terluka.
Air mata tumpah. Kepedihan tiada tara. Terasa hening, kosong. Semuanya menarik napas dalam-dalam. Semua menundukkan kepala. Semua merasa kalah dan bersalah. Lalu, secara bersama-sama bersepakat: tidak ada sepak bola setara nyawa manusia.
Di media sosial Bonek, suporter Persebaya Surabaya, yang terus-menerus disebut sebagai rival Aremania, ada yang menulis, 'Kalau nyawa manusia yang menjadi taruhannya, kami rela kalah. Turut berduka, tak ada kemenangan sepak bola seharga nyawa'.
Ada pula yang menulis, 'Kalau harus mengorbankan nyawa, kami ikhlas hidup tanpa sepak bola'. Semuanya tentang kepiluan. Tidak ada yang mendongak. Malu kepada diri sendiri. Malu karena tidak sanggup menjaga kehidupan. Menyesal dan meratapi sembari bertanya, 'Mengapa harus jatuh korban ratusan nyawa untuk mau kembali bergandengan tangan?'.
Saya jadi teringat sabda Nabi Muhammad, wa kafaa bil mauti wa idzho (dan cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat). Kematian ratusan anak bangsa di Kanjuruhan jelas amat cukup sebagai nasihat, pelajaran tiada tara.
Pelajaran agar menjaga rivalitas yang sehat. Pelajaran agar ada efek jera untuk yang terbiasa mengajak dan menggerakkan amuk massa. Pelajaran agar merombak tata kelola. Pelajaran agar menghargai dan menjunjung tinggi nyawa manusia.
Bila peristiwa Kanjuruhan berlalu begitu saja, itu artinya kita tidak sungguh-sungguh belajar dari kematian. Jika tidak ada evaluasi dan revolusi, itu sama saja kita sudah mati. Raga lalu lalang, tapi jiwa dan pikiran melayang.
Belajarlah dari Inggris tentang cara menjinakkan hooligan (suporter sepak bola yang anarkistis) dengan membuat sistem penjeraan. Pascatragedi di lapangan Heysel, Brussel, Belgia, Inggris berbenah. Tragedi saat suporter Liverpool (hooligan) merangsek ke tribune suporter Juventus (tifosi) itu terjadi pada final Piala Champions Eropa 1985. Sebanyak 39 orang meninggal, lebih dari 600 orang menjadi korban.
Inggris lalu mendeklarasikan tidak ada tempat dan ruang bagi hooliganisme. Semua ditata. Ya, aparatnya, ya suporternya, ya federasinya, ya sistemnya. Siapa yang nekat menjadi hooligan, akan tercatat dalam metadata kenegaraan sebagai pembuat onar. Ia dilarang masuk stadion bertahun-tahun, bahkan bisa seumur hidup.
Bahkan, saat klub yang ia dukung sedang bertanding, sang hooligan tidak boleh ada di kota yang sama dengan tempat klub itu berlaga. Ia harus mengungsi. Itulah penjeraan dengan sistem. Itulah pelajaran. Hasilnya pun efektif. Sejak tragedi Heysel, semua berbenah.
Kita mestinya sanggup mereplikasi cara itu agar tidak ada lagi yang meninggal dunia. Cukup sudah. Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat. Duka amat mendalam untuk tragedi Kanjuruhan.
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved