Rabu 05 Oktober 2022, 05:00 WIB

Kanjuruhan

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group | Editorial
Kanjuruhan

MI/Ebet
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group.

BUMI Kejuron lagi bersiap pesta akbar rakyat.

Raja Gajayana yang gagah perkasa hendak bermantu mulia.

Putri mahkota Uttajana nan jelita akan dipersunting Jananiya yang tampan rupawan.

Berharap kelak kejayaan Kanjuruhan abadi, aman sejahtera.

Candi agung Karang Besuki pun berhias indah.

Lambaian rerupa janur kuning berlomba mewarnai langit.

Terlihat Resi Agastya khidmad memunajatkan doa-doa kinasih.

Di kejauhan tampak pula ketenangan ramah alir Sungai Brantas yang berkilau jernih diterpa tatap mentari.

 

Penggalan bait-bait sajak berjudul Kanjuruhan Rikala Lalu itu ditulis Gunawan Wibisono, satu hari setelah tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Ia menuangkan kekagetannya itu melalui larik-larik puisi di laman blog Kompasiana.com.

Gunawan tidak mengira dari sebuah kampung istana Kanjuruhan yang pernah punya sejarah molek, indah, dan damai itu pekik kebencian menguar. Sumpah serapah bersabung dengan jeritan dari suporter klub sepak bola Arema. Pekik pilu itu dipicu lontaran gas air mata petugas keamanan yang berujung menjadi tragedi.

Di tempat yang sejuk itu, hawa panas meluap. Api amarah dari pendukung yang tidak terima tim kebanggaan mereka kalah di kandang, menjelma amuk massa. Aparat keamanan yang kebingungan menghalau massa, menyemburkan gas air mata. Lebih dari 130 orang pun meninggal dunia (berdasarkan data Postmortem Crisis Center). Ratusan orang lainnya terluka.

Air mata tumpah. Kepedihan tiada tara. Terasa hening, kosong. Semuanya menarik napas dalam-dalam. Semua menundukkan kepala. Semua merasa kalah dan bersalah. Lalu, secara bersama-sama bersepakat: tidak ada sepak bola setara nyawa manusia.

Di media sosial Bonek, suporter Persebaya Surabaya, yang terus-menerus disebut sebagai rival Aremania, ada yang menulis, 'Kalau nyawa manusia yang menjadi taruhannya, kami rela kalah. Turut berduka, tak ada kemenangan sepak bola seharga nyawa'.

Ada pula yang menulis, 'Kalau harus mengorbankan nyawa, kami ikhlas hidup tanpa sepak bola'. Semuanya tentang kepiluan. Tidak ada yang mendongak. Malu kepada diri sendiri. Malu karena tidak sanggup menjaga kehidupan. Menyesal dan meratapi sembari bertanya, 'Mengapa harus jatuh korban ratusan nyawa untuk mau kembali bergandengan tangan?'.

Saya jadi teringat sabda Nabi Muhammad, wa kafaa bil mauti wa idzho (dan cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat). Kematian ratusan anak bangsa di Kanjuruhan jelas amat cukup sebagai nasihat, pelajaran tiada tara.

Pelajaran agar menjaga rivalitas yang sehat. Pelajaran agar ada efek jera untuk yang terbiasa mengajak dan menggerakkan amuk massa. Pelajaran agar merombak tata kelola. Pelajaran agar menghargai dan menjunjung tinggi nyawa manusia.

Bila peristiwa Kanjuruhan berlalu begitu saja, itu artinya kita tidak sungguh-sungguh belajar dari kematian. Jika tidak ada evaluasi dan revolusi, itu sama saja kita sudah mati. Raga lalu lalang, tapi jiwa dan pikiran melayang.

Belajarlah dari Inggris tentang cara menjinakkan hooligan (suporter sepak bola yang anarkistis) dengan membuat sistem penjeraan. Pascatragedi di lapangan Heysel, Brussel, Belgia, Inggris berbenah. Tragedi saat suporter Liverpool (hooligan) merangsek ke tribune suporter Juventus (tifosi) itu terjadi pada final Piala Champions Eropa 1985. Sebanyak 39 orang meninggal, lebih dari 600 orang menjadi korban.

Inggris lalu mendeklarasikan tidak ada tempat dan ruang bagi hooliganisme. Semua ditata. Ya, aparatnya, ya suporternya, ya federasinya, ya sistemnya. Siapa yang nekat menjadi hooligan, akan tercatat dalam metadata kenegaraan sebagai pembuat onar. Ia dilarang masuk stadion bertahun-tahun, bahkan bisa seumur hidup.

Bahkan, saat klub yang ia dukung sedang bertanding, sang hooligan tidak boleh ada di kota yang sama dengan tempat klub itu berlaga. Ia harus mengungsi. Itulah penjeraan dengan sistem. Itulah pelajaran. Hasilnya pun efektif. Sejak tragedi Heysel, semua berbenah.

Kita mestinya sanggup mereplikasi cara itu agar tidak ada lagi yang meninggal dunia. Cukup sudah. Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat. Duka amat mendalam untuk tragedi Kanjuruhan.

Baca Juga

MI/Ebet

Korupsi Kecil

👤Ahmad Punto Dewan Redaksi Media Group 🕔Kamis 30 Maret 2023, 05:00 WIB
MENTANG-MENTANG kecil minta dimaklumi. Karena ada pemakluman, yang kecil-kecil terus dilakukan, lama-lama menjadi...
MI/Ebet

Merayu Israel demi Palestina

👤Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group 🕔Rabu 29 Maret 2023, 05:00 WIB
PANDANGAN Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla soal perhelatan Piala Dunia U-20 sebenarnya menarik. Namun, boleh jadi sudah...
MI/Ebet

Amplop Merah di Rumah Ibadah

👤Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group 🕔Selasa 28 Maret 2023, 05:00 WIB
DIIRINGI lantunan selawat menjelang salat Tarawih di sebuah masjid di Sumenep, Madura, beberapa orang membagikan amplop berisi uang Rp300...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya