Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
SEJAK kita memilih presiden secara langsung, sejak itu pulalah 'terasa' bahwa kita ini rakyat. Kita bukan 'penonton' atas pilihan MPR.
Sejak itu pulalah substantif kita hidup tanpa GBHN. Penggantinya ialah visi, misi, program presiden terpilih, yang sebelumnya dipertarungkan antara lain melalui debat capres yang diselenggarakan KPU.
Kita mendengar apa yang dijanjikan capres. Kita menimbangnya. Di bilik suara kita mengambil keputusan memilih capres yang kita yakini lebih mampu membuat Indonesia lebih baik jika dibandingkan dengan capres lainnya.
Ketika pilpres dan pileg diselenggarakan serentak, di bilik suara itu pula kita sekaligus memilih calon anggota MPR (terdiri atas calon anggota DPR dan calon anggota DPD). Inilah MPR yang kedudukannya sama tinggi dan sama rendah dengan presiden. Dia bukan lagi lembaga tertinggi negara. Yang tertinggi ialah rakyat, empunya kedaulatan, yang bebas menggunakannya di bilik suara.
Posisi MPR yang demikian itu membuat MPR bukan lagi lembaga negara yang jemawa. Kejemawaannya copot karena bukan dia lagi yang memilih presiden.
GBHN itu instrumen MPR. Dia berisikan garis perintah kepada presiden--yang dipilih dan diangkat MPR. Barang siapa tidak melaksanakan perintah (dari atasan yang berwenang), dia patut diberi sanksi, bahkan dipecat. Sejarah mengatakan MPR berkelakuan main pecat, tukang menjatuhkan presiden di tengah jalan.
Kenyataan nan elok nian ialah Indonesia tercinta ini tak oleng selama hidup bernegara tanpa GBHN buatan MPR. Presiden pilihan rakyat punya haluan ke mana negara hendak dibawa. Bahkan, kepercayaan bahwa ‘capres terpilih memiliki haluan ke mana negara hendak dibawa itu', merupakan alasan paling pokok, kenapa dia yang terpilih.
Hingga saat ini kita telah hidup selama hampir 17 tahun tanpa GBHN buatan MPR. Itu dihitung sejak 20 Oktober 2004, sejak presiden hasil pilihan rakyat dilantik. Sebuah perjalanan yang belum cukup panjang untuk berkesimpulan bahwa kini saatnya kita kembali punya GBHN. Hemat saya, bahkan 19 tahun setelah amendemen keempat konstitusi (10 Agustus 2002) pun belum waktu yang cukup panjang untuk kita kembali melakukan amendemen.
Baiklah kita tidak meniru India. Sepanjang 71 tahun negara itu telah lebih 100 kali mengamendemen konstitusi mereka. Jangan juga ikuti Prancis. Sejak 1958, negara itu setiap dua tahun memutakhirkan konstitusi mereka. Kiranya bolehlah dipertimbangkan untuk mengagumi rasa cinta Amerika Serikat kepada konstitusi mereka. Sejak 1788, selama 233 tahun, hanya 27 kali mereka mengamendemen konstitusi.
Mengubah konstitusi semata untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), pengganti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), kiranya pikiran yang 'terlampau jauh meleset dari sejarah' bila mengira Indonesia dikhawatirkan oleng akibat hidup tanpa haluan buatan MPR. Negara oleng di ujung kekuasaan Pak Harto dan dia ditumbangkan bukan karena selama dia berkuasa kita tak punya GBHN, melainkan akibat krisis moneter dan dia terlalu lama berkuasa. Kendati negara tidak dalam keadaan oleng dan punya GBHN, Gus Dur ditumbangkan dalam tempo singkat karena persekongkolan elite di MPR. Kelak, bila GBHN atau apa pun nama penggantinya itu termaktub di dalam konstitusi, dia dapat menjadi pintu masuk untuk MPR menumbangkan presiden dengan alasan tidak melaksanakan haluan negara.
Kiranya jemawa mengatakan bahwa amendemen dapat dilakukan terbatas hanya menambah satu pasal dalam konstitusi mengenai PPHN. Adalah jemawa amat sangat menjamin bahwa amendemen itu tak bakal membuka kotak pandora mengubah pasal lain.
Satu orang yang keliru dapat merusakkan banyak hal yang baik, kata orang suci. Kesabaran mencegah kesalahan-kesalahan besar, tambahnya. Maka timbanglah mendalam 50 tahun setelah euforia reformasi, timbanglah menyeluruh dengan kesabaran panjang di dalam hidup berbangsa dan bernegara, untuk berkesimpulan kita perlu amendemen.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved