Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Tempe juga Masalah Bangsa

Abdul Kohar, Dewan Redaksi Media Group
06/1/2021 05:00
Tempe juga  Masalah Bangsa
(MI/EBET)

SUNOTO dan Ujang ialah stakeholder tempe di negeri ini. Yang satu perajin tempe di Sunter, Jakarta, yang satunya lagi pedagang tempe di Pasar Way Halim, Bandar Lampung. Kendati statusnya berbeda (Sunoto produsen, Ujang distributor), dua-duanya dipusingkan oleh hal yang sama: melambungnya harga kedelai.

Harga kedelai sebagai bahan baku tempe melonjak 30%, dari Rp7.000 per kilogram menjadi Rp9.100 per kg dalam dua pekan terakhir. Karena sama-sama pu­sing, keduanya pun mengambil langkah yang sama, yakni meng­ikuti ajakan asosiasi perajin dan pedagang tempe untuk mogok selama tiga hari. Saat mogok produksi dan mogok berjualan dari tanggal 1-3  Januari tersebut, mereka berikhtiar mencari solusi.

Sejak harga kedelai melambung, para perajin tempe memang diliputi kebimbangan. Mereka bingung memilih menaikkan harga atau memangkas ukuran tempe. Menaikkan harga beri­siko turunnya pembeli, sedangkan mengecilkan ukuran bisa mengancam kredibilitas di mata konsumen.

Akhirnya, diambillah solusi beragam: ada yang menaikkan harga 25%, ada yang memangkas ukuran dengan harga tetap, ada pula yang mengambil langkah kombinasi sedikit menurunkan harga dan sedikit mengerutkan ukuran. Sejak Senin (4/1), para stakeholder pertempean mengakhiri mogok. Mulai kemarin, tempe juga sudah tersedia lagi di lapak-lapak para pedagang. Konsumen pun, termasuk saya yang maniak tempe, girang.

Namun, apakah masalah sebenarnya telah dipecahkan? Jawabnya jelas: belum. Potensi bakal terjadinya ‘turbulensi’ harga tempe dan pasar tempe, juga tahu, akan tetap terjadi selama hulunya tidak dituntaskan. Akar masalah ada pada ketergantungan kita atas kedelai impor karena produksi kedelai dalam negeri tak mencukupi kebutuhan industri.

Dalam soal perkedelaian, kita memang tergolong aneh. Data statistik menunjukkan Indonesia ialah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah Tiongkok. Ini wajar, mengingat kedelai jadi bahan baku bagi tempe dan tahu, dua makanan yang sangat lazim disantap masyarakat Tanah Air. Tempe bahkan telah dikenal di Nusantara (terutama Jawa) sejak sebelum abad ke-16 sebagaiamana termaktub dalam Serat Centhini.

Namun, kendati sangat strategis, produksi kedelai kita tak pernah mencukupi sejak tiga dekade terakhir. Produksi kedelai lokal rata-rata mencapai 800 ribu-900 ribu ton per tahun. Angka itu sangat jauh jika dibandingkan dengan kebutuhan kedelai dalam negeri. Berdasarkan data Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) diperkirakan kebutuhan kedelai untuk produksi para anggotanya sekitar 150.000-160.000 per bulan. Artinya, tiap tahun kebutuhan kedelai berkisar 1,8 juta-1,92 juta ton.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai US$510,2 (sekitar Rp7 triliun). Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya diimpor dari Amerika Serikat. Padahal, negeri ini pernah menikmati swasembada kedelai. Itu terjadi pada 1990-1992.

Dalam periode tersebut, produksi kedelai nasional mencapai 1,6 juta-1,8 juta ton per tahun, dengan kebutuhan yang tidak sampai 1 juta ton. Perjanjian dengan IMF tahun 1997 membuat segalanya berubah: pemerintah (Bulog) tak boleh mengurusi tata niaga kedelai, produksi kedelai tak menghasilkan keuntungan bagi petani, lahan yang kian berkurang lebih menarik ditanami komoditas lainnya. Terjadilah kemerosotan produksi kedelai, diikuti ketergantungan pada kedelai AS yang harganya tak terduga.

Maka, pemerintah perlu mencermati betul saran dari Puskopti (Pusat Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia). Pertama, tata niaga kedelai perlu dipegang pemerintah agar bisa menjaga stabilitas harga. Tujuannya memberikan kenyamanan bagi para pelaku usaha kecil dan menengah tahu-tempe yang jumlahnya sangat besar. Kedua, meminta pemerintah agar merealisasikan program swasembada kedelai yang sudah dicanangkan sejak 2006.

Hal ini untuk mengurangi ketergantungan industri tahu-tempe dalam negeri dari kedelai impor. Ketiga, meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi hasil produksi kedelai lokal di sektor hilir, di kalangan petani. Kebijakan di hilir mesti sejalan agar budidaya kedelai makin ekonomis sehingga petani tertarik menanam kedelai.

Dengan menyelesaikan masalah dari hulu hingga hilir, gejolak harga kedelai yang memusingkan perajin, pedagang, dan penikmat tempe bisa diakhiri. Ingat, tempe tak bisa lagi diasosiasikan sebagai lambang ‘bangsa yang lembek’ seperti pernah dipidatokan Bung Karno pada 10 November, tahun 1965. Tempe telah menjelma menjadi makanan strategis, menyehatkan, disukai bahkan di lebih dari 20 negara di dunia. Tempe juga bisa jadi masalah bangsa. Karena itu, tak bisa diremehkan, apalagi didiamkan.



Berita Lainnya
  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima

  • Keabadian Mahaguru

    22/7/2025 05:00

    IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.

  • Macan Kertas Pertimbangan MK

    21/7/2025 05:00

    ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.  

  • Debat Tarif Trump

    19/7/2025 05:00

    MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka? 

  • Jokowi dan Agenda Besar

    18/7/2025 05:00

    PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.

  • Obral Komisaris

    17/7/2025 05:00

    SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).

  • Uni Eropa, Kami Datang...

    16/7/2025 05:00

    Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.

  • Aura Dika

    15/7/2025 05:00

    TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.