POPULISME Islam ialah politik yang memosisikan umat berhadaphadapan dengan elite. Populisme Islam mengalami pergeseran dari populisme yang bertujuan mencapai penguasaan ekonomi menjadi populisme yang bertujuan meraih kekuasaan politik. Keduanya dibalut identitas-identitas etnik, ras, dan agama.
Populisme Islam awal di Indonesia digerakkan Syarikat Dagang Islam. SDI bergerak dalam penguatan ekonomi pengusaha muslim, terutama dalam menghadapi kekuatan bisnis Tionghoa yang didukung Belanda. Ketika itu, anggapan umat dimarginalisasi penguasa baik secara politik maupun ekonomi merebak.
Vedi R Hadiz menyebut populisme Islam awal itu populisme tradisional (more traditional populism) atau populisme Islam lama (older Islamic populism). Populisme Islam lama atau populisme berbasis kelas ekonomi ini kiranya berlanjut di masa Orde Lama dan Orde Baru.
Di masa Orde Lama, tepatnya pada April 1950, Presiden Soekarno meluncurkan kebijakan ekonomi populis, yakni Program Benteng. Tujuannya membina pembentukan kelas pengusaha Indonesia pribumi. Pada Mei dan Juni 1953, muncul tuduhan Program Benteng diskriminatif dan itu menyebabkan kabinet Wilopo jatuh. Kabinet Burhanuddin Harahap dan Menteri Keuangan Soemitro Djojohadikusumo meninjau ulang Program Benteng pada September 1955. Syarat berdasarkan etnik dicabut dan diganti dengan persyaratan ketat mengenai pembayaran di muka. Kebijakan Benteng resmi dicabut pada 1957.
Di masa Orde Lama itu pula, tepatnya pada 1956, di pertemuan Ekonomi Nasional Seluruh Indonesia, pengusaha Mohammad Assat, dengan dukungan partai politik Islam modern Masyumi, meluncurkan gerakan menuntut kebijakan afirmatif bagi pengusaha pribumi. Nasionalisme ekonomi Assat memupuk sentimen anti-Tionghoa.
Di masa Orde Baru berlangsung gelombang populisme antikonglomerat Tionghoa yang digerakkan pengusaha pribumi terkemuka, akademisi sosialis, anggota parlemen populis, dan pemimpin muslim. Pada 1972, Presiden Soeharto mengumumkan rencana pemerintah membeli 50%-60% saham perusahaan pengusaha Tionghoa dan memberikannya kepada pengusaha pribumi. Rencana itu urung dilakukan karena Pak Harto menganggap pengusaha Tionghoa sukses karena memiliki modal dan keterampilan memadai. Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan memberikan akses modal dan keterampilan kepada pengusaha pribumi sembari mendorong mereka bekerja sama dengan pengusaha Tionghoa.
Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia yang kelahirannya direstui Presiden Soeharto menjalankan program pemberdayaan ekonomi umat yang bersifat populis.
Menjelang kejatuhannya, Pak Harto menyerang pengusaha ‘tertentu’ sebagai penyebab krisis ekonomi dan mengatakan itu permainan yang tak akan pernah mendapat berkah Tuhan. Seusai bertemu Pak Harto, Ketua MUI Hasan Basri mendorong pemerintah mengambil langkah mengurangi kesenjangan kekayaan dengan membentuk ekonomi rakyat dan mendorong bisnis pribumi.
Populisme Islam dalam konteks ekonomi kiranya gagal. Pengusaha Tionghoa-nonmuslim tetap menguasai ekonomi. Isu ekonomi sulit digunakan untuk memobilisasi massa lantaran rakyat relatif puas dengan kondisi ekonomi Indonesia.
Di era reformasi, populisme Islam bergeser ke upaya meraih kekuasaan politik yang tetap dibalut dengan identitas-identitas. Hadiz menyebutnya populisme Islam baru (new Islamic populism).
Pada Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo Subianto beraliansi dengan kelompok Islam. Prabowo di Pilpres 2014 menyerang rivalnya, Jokowi, dengan senjata identitas dengan mengatakan Jokowi bukan muslim dan keturunan Tionghoa Singapura. Di Pilpres 2019, Prabowo dikatakan calon presiden pilihan ulama. Prabowo hendak memosisikan Jokowi sebagai elite berhadapan dengan umat.
Namun, Prabowo yang capres pilihan ulama itu mengambil pengusaha sebagai cawapresnya. Jokowi yang bukan pilihan ulama justru meminta ulama menjadi cawapresnya. Populisme agama bikin dunia politik terbolak-balik.
Populisme Islam politik paling fenomenal apalagi kalau bukan Pilkada DKI 2017. Lewat Aksi Bela Islam berjilid-jilid, kelompokkelompok Islam menolak Basuki Tjahaja Purnama yang Kristen dan Tionghoa kembali menjabat Gubernur DKI dengan alasan dia menistakan agama. Populisme Islam makin terasa ketika Anies Baswedan dalam pidato pengukuhannya sebagai Gubernur DKI kira-kira menyebut saatnya kaum pribumi berkuasa atau mengambil alih kendali atas Jakarta. Kelompok-kelompok Islam dan Anies memosisikan Ahok sebagai elite berhadap-hadapan dengan umat.
Karena menggunakan identitas etnik dan agama sebagai senjata, populisme Islam lama dan populisme Islam baru bersifat diskriminatif. Diskriminasi berkebalikan dengan demokrasi. Populisme agama sekali lagi bikin dunia politik terbolak-balik. Itulah sebabnya Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan tidak menginginkan populisme Islam berkembang di Indonesia.