Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
APA yang lebih berbahaya daripada virus korona yang hingga kemarin siang menewaskan 106 orang? Virus kebencian jawabannya.
Pekan lalu saya menulis tentang Uighur di laman Facebook saya. Saya ingin menyajikan berbagai pandangan atau perspektif tentang Uighur, baik positif, netral, maupun negatif.
Saya menuliskannya berdasarkan kunjungan saya ke Xinjiang, provinsi tempat etnik muslim Uighur menetap di Tiongkok. Saya juga menuliskan sejumlah pemberitaan negatif tentang perlakuan pemerintah Tiongkok kepada etnik Uighur. Pun saya menuliskan dua hasil penelitian tentang Uighur yang saya baca dari dua buku berbahasa Inggris.
Tiba-tiba ada yang berkomentar bahwa virus korona ialah balasan dari langit untuk rezim komunis RRT atas perlakuan mereka terhadap muslim Uighur. Komentar ini jelas berperspektif langitan atau berperspektif hukum karma yang jelas tidak didasarkan pada keilmiahan, tetapi pada kebencian.
Dia yang berkomentar seperti itu telah terjangkit sekaligus menularkan virus kebencian. Celakanya virus kebencian lebih berbahaya daripada virus korona atau virus-virus lain yang pernah ada atau kelak ada di muka bumi.
Penyebaran virus kebencian memakan lebih banyak korban jika dibandingkan dengan virus korona. Itu karena bila virus korona berjangkit melalui interaksi fisikal, virus kebencian berjangkit melalui interaksi virtual di media sosial.
Virus korona menyerang tubuh, sedangkan virus kebencian menyerang kewarasan, akal sehat. Oleh karena itu, orang terjangkit virus korona bisa disembuhkan dengan vaksin yang kelak ditemukan, tetapi mereka yang terjangkit virus kebencian sulit disembuhkan sampai tujuh turunan bahkan dengan vaksin rekonsiliasi sekalipun.
Virus kebencian juga menyebar melalui komentar atau analisis asal-asalan bahwa orang Tiongkok terserang virus korona karena doyan makan sup kalelawar dan ular, dan keduanya makanan haram. Akan tetapi, saya membaca artikel di The Guardian yang dipublikasikan enam tahun lalu dan menginformasikan kemungkinan virus korona menjadi pandemi berikutnya.
Informasi The Guardian itu didasarkan temuan seorang virolog yang menyebutkan adanya seorang pasien yang terjangkit virus yang kemudian diduga korona itu di satu rumah sakit di Jeddah, Arab Saudi.
Rasanya kecil kemungkinan pasien tersebut gemar mengonsumsi sup kelelawar atau ular. Para ahli menduga virus berasal dari hewan ternak setempat.
Saya membayangkan, si komentator tadi akan mengatakan bahwa informasi kemungkinan virus korona berasal dari hewan ternak di Timur Tengah ialah konspirasi asing-aseng. Namanya juga akal sehatnya sudah terjangkit virus kebencian. Karena kebencian, si komentator serupa menyoraki wabah yang diderita warga Tiongkok.
Meski sulit, virus kebencian sesungguhnya bukan tidak bisa disembuhkan sama sekali. Sedikit empati semestinya bisa menyingkirkan virus kebencian. Bila tidak bisa berempati atas nama kebangsaan, berempatilah atas nama kemanusiaan.
Empati ialah menempatkan posisi kita pada orang lain, pada korban virus korona. Dengan berempati, kita seolah merasakan bahwa terjangkit virus korona itu menderita dan sengsara. Kita tentu tidak menginginkan terjangkit virus korona sehingga kita mau tidak mau berupaya mencegahnya. Itu artinya berempati bisa mencegah kita terserang virus korona.
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved