Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
OTAK udang ialah sebutan kiasan untuk orang yang sukar mengerti atau bodoh maksimal. Kata otak selalu dikaitkan dengan kepala. Bisa jadi, karena ada otak, kepala selalu dibuang saat pengolahan udang. Khawatir bodoh makan kepala udang.
Nyatanya, menurut Prof Purwantiningsih dari IPB, kepala dan kulit udang mengandung senyawa kimia, yaitu kitin yang bisa diubah menjadi kitosan. Manfaat kitosan di bidang biomedis ialah sebagai material untuk pengantar obat ke target atau mengendalikan pelepasan obat sesampainya ke target.
Limbah kepala dan kulit udang memerlukan pemrosesan lebih lanjut untuk menjadi sesuatu yang sangat berharga. Butuh waktu dan kesabaran. Berharga bagi mereka yang menghormati proses, sukar dimengerti oleh mereka yang berotak udang.
Persoalan proses itulah sesungguhnya yang menyertai polemik lobster, sebutan udang yang hidup di laut. Polemik di dunia internasional terkait keadaban, teknik memasak lobster didahului dengan proses perebusan hidup-hidup.
Pemerintah Swiss melarang merebus lobster hidup-hidup. Lobster mesti dibunuh dahulu, disarankan dengan cara disetrum. Peraturan ini efektif berlaku per 1 Mei 2018 di Selandia Baru, Norwegia, dan Austria. Beberapa negera seperti Jerman, Australia, dan Italia sudah lebih dulu membuat peraturan yang sama.
Polemik soal lobster di negeri ini tidak terkait dengan keadaban, tapi soal ‘udang di balik batu’ benih lobster. Pada mulanya dilarang menangkap dan mengekspor benih lobster. Larangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/2015 jo Nomor 56/2016.
Pertimbangan utama yang menjadi latar belakang hadirnya dua peraturan itu, sebagaimana diungkapkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, ialah melindungi mata pencaharian manusia, mata pencaharian nelayan dengan menjaga sumber daya lobster cukup, dan lestari. Jadi, prioritasnya manusia, bukan hewannya.
Atas nama kepentingan manusia pula, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengumumkan bakal membuka keran ekspor benih lobster. Susi dan Edhy pun terlibat polemik terbuka yang kiranya tak elok dari sisi etika. Keduanya ngotot-ngototan, merasa paling benar di ruang publik.
Soal etika, elok kiranya belajar dari Gubernur DKI Jakarta sekaligus mantan Mendikbud Anies Baswedan. Ia secara sadar memilih tak ikut mengomentari kebijakan penghapusan ujian nasional oleh Mendikbud Nadiem Makarim. “Saya menghormati Menteri Pendidikan. Sebagai mantan menteri pendidikan, saya tidak ikut mengomentari. Kan etikanya begitu,” ujar Anies.
Pemegang kekuasaan pemerintahan ialah presiden. Menteri yang ialah pembantu presiden itu sesungguhnya hanya menjalankan kebijakan bosnya. Dengan demikian, melarang atau membolehkan mengekspor benih lobster pada dasarnya kebijakan presiden.
Kebijakan Presiden Joko Widodo terkait benih lobster sangat jelas, yaitu negara mendapatkan manfaat, nelayan mendapatkan manfaat, lingkungan tidak rusak.
Daripada polemik terbuka menerabas etika, sebaiknya Susi menemui Edhy untuk berdiskusi atau Edhy mengundang Susi untuk berdialog. Apalagi, saat serah terima jabatan, Edhy mengatakan kepada Susi, “Rumah (Kementerian KKP) ini ialah rumahnya Ibu. Bagi saya, menteri KKP tetap Ibu Susi, saya ialah pengganti Ibu." Pujian itu ternyata pemanis bibir.
Benarkah melarang atau membolehkan menangkap dan mengekspor benih lobster menguntungkan nelayan? Penelitian Furqan dkk dari IPB bisa menjadi rujukan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Hasil penelitian itu dimuat di jurnal IPB Oktober 2017.
Fokus penelitian ialah dukungan nelayan benih lobster terhadap kebijakan Permen KKP 01/2015 jo Permen KKP 56/2016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 93% nelayan sangat tidak mendukung adanya pelarangan penangkapan benih lobster dan sebanyak 7% nelayan menjawab tidak mendukung.
Fakta lain ialah Serikat Nelayan Indonesia menyatakan kebijakan ekspor benih lobster bisa merugikan nelayan kecil dan lingkungan hidup dalam jangka panjang. Karena itu, Serikat Nelayan Indonesia menolak wacana ekspor benih lobster.
Nelayan itu ibarat pelanduk mati di tengah-tengah polemik Susi dan Edhy. Saatnya suara nelayan didengar pemerintah. Mereka memang berprofesi sebagai penangkap lobster, tetapi yakinlah mereka bukan orang yang dikiaskan otak udang. Nelayan paham bahwa menjual lobster lebih menguntungkan daripada menjual benihnya. Itulah kearifan yang bersemai dalam jiwa nelayan yang tidak dipunyai elite.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved