Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
TERUS terang saya gagal objektif menilai tampang saya. Apakah tampang udik atau tampang kota. Atau malah tampang perbatasan udik dan kota, tampang tidak jelas.
Saya lahir di Jambi, tapi asal leluhur saya bernama Pahae yang memang udik, udik banget. Saya beberapa kali ke Boyolali, sejujurnya Boyolali jauh lebih maju jika dibandingkan dengan asal moyang saya Pahae, Tapanuli Utara. Jika Boyolali dinilai udik, apa penilaian yang pas untuk kampung moyang saya?
Apa pun jawabannya saya cinta kampung leluhur saya yang udik banget itu, seperti saya mencintai Jambi (tanah kelahiranku), Yogyakarta (tanah aku kuliah), Bekasi (tanah kediamanku), Jakarta (tanahku 'bercocok tanam'), dan Indonesia (tanah airku, tumpah darahku). Tentu saja saya pun cinta kita sesama anak bangsa, apa pun tampangmu.
Tampang anak bangsa menjadi kehebohan gara-gara seorang calon presiden menyebut tampang orang Boyolali sebagai tampang yang belum pernah masuk ke hotel mewah. Rasanya ini pertama kali dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara tampang warga sebuah kabupaten menjadi candaan serius seorang calon presiden.
Penilaian tampang Boyolali ialah penilaian yang merendahkan. Hal yang tidak elok, luas dikritik, kemudian diluruskan bahwa pernyataan itu diungkapkan dalam rangka dekat dengan rakyat agar suasana pertemuan cair, tidak kaku.
Dalam pandangan saya, yang merupakan persoalan besar bukan predikat 'tampang Boyolali' (perbandingannya 'saya bertampang Batak'), melainkan kesejahteraan rakyat yang diukur dengan belum pernah masuk ke hotel mewah. Ini ukuran yang amat ngawur.
Sejahtera ialah tujuh cukup, yaitu cukup pangan, cukup sandang, cukup papan, cukup terdidik, cukup sehat, cukup jaminan hari tua, dan cukup tersedia kuburan kalau mati. Bukan banyaknya rakyat Indonesia yang tampangnya mampu tidur di hotel mewah.
Tampang bukan kata yang aneh. Tampang muncul dalam percakapan warga sehari-hari. Misalnya, tampang preman, tapi hatinya baik. Sebaliknya ada yang tampangnya baik, ternyata jahat.
Kiranya perlu merujuk sebuah metafora intelektual untuk tidak tertipu oleh tampang. Bunyinya, don't judge a book by its cover. Jangan timbang sebuah buku dari sampulnya, tapi timbanglah dari isinya, bobotnya.
Sebuah buku dibaca dan dicerna barulah bisa berkesimpulan perihal bobotnya. Bahkan pikiran besar penulis buku mungkin baru jernih tertangkap setelah berulang membacanya.
Sampul buku yang memukau merupakan perabot yang perlu. Sebuah buku perlu untuk pajangan, untuk etalase, enak dipandang, tapi dengan penuh hormat kepada perancang wajah buku yang menghasilkan karya artistik, sebuah buku tidak ditimbang mutunya dari sampulnya, tampangnya, tetapi dari isinya.
Intinya, itu nasihat untuk tidak menilai orang dari fisiknya, kulit luarnya. Nilailah orang dari 'dalamnya', seperti kecerdasannya, terutama dari perbuatannya, amalnya, yang merupakan ekspresi dari 'dalamnya' karakter.
Saya kira itulah urusan besar dalam pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden. Jangan pilih presiden dari kulit luarnya. Pilihlah presiden dari perbuatannya, amalnya, bukan dari tampangnya.
Untuk tidak tertipu tampang, orang perlu membaca rekam jejak calon presiden dan wakil presiden. Don't judge a book by its cover. Bacalah dalamnya, isinya, karakternya.
Kiranya isi dalam seorang pemimpin yang tulen berkarakter tidak memerlukan bermacam-macam sampul, berupa suara-suara berisik, suara-suara gaduh, suara-suara kebencian dari pendukungnya untuk menjatuhkan lawan agar dirinya terpilih menjadi presiden.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved